Jumat, 13 Maret 2009

FISIOLOGI KARDIOVASKULER JANIN

FISIOLOGI KARDIOVASKULER JANIN 
Label: Artikel Kedokteran, Obgin 

Sirkulasi janin berbeda dengan orang dewasa, karena adanya plasenta yang menjadi sumber nutrisi dan oksigen yang disalurkan melalui tali pusat. Vena umbilikal yang tunggal masuk ke abdomen kearah hati, bercabang ke v. porta dan cabang besar langsung ke vena kava inferior. Darah yang masuk ke jantung merupakan darah arteri yang masuk melalui duktus venosus namun bercampur dengan darah dari vena kava. Dengan demikian kadar oksigen pada vena kava inferior akan lebih rendah dari kadar di tali pusat tetapi masih lebih tinggi dari kadar di vena kava superior.

Sebagian besar darah yang dari vena kava inferior masuk ke jantung akan menuju foramen ovale yang terbuka ke atrium kiri, hal ini dimungkinkan karena adanya crista dividens. Hampir tidak ada darah dari vena kava superior yang melalui foramen ovale, melainkan akan menuju ventrikel kanan. Dengan demikian darah yang masuk ke atrium kiri merupakan darah ‘arteri’ yang akan langsung ke ventrikel kiri dan kemudian ke sirkulasi besar, terutama memperdarahi organ penting yaitu jantung dan otak. Sementara itu darah vena yang datang dari vena kava superior masuk ke jantung kanan, dipompa ke sirkulasi pulmoner, sebagian akan di pirau (shunt) melalui duktus arteriosus ke aorta desenden.
Penelitian pada domba dan manusia menunjukkan bahwa model tersebut hampir sama. Pengukuran curah jantung pada janin domba bervariasi, berkisar pada : 225 ml/kg (Assali dkk, 1974). Curah jantung yang jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dipengaruhi oleh denyut jantung yang tinggi sementara tahanan perifer rendah. 
Sebelum kelahiran resistensi vaskuler pulmoner yang tinggi menyebabkan tekanan arteri yang tinggi sementara arus darah sangat sedikit. Dipihak lain resistensi pada duktus arteriosus dan sirkulasi umbiliko-plasenta adalah rendah, hal ini mengakibatkan keseluruhan sirkulasi janin. Dengan demikian dibuktikan pada domba separuh dari curah kedua ventrikel akan menuju plasenta. Distribusi curah jantung tersebut ialah : 40% ke plasenta, 35% ke karkas, otak 5%, gastrointestinal 5%, paru 4%, ginjal 2%, limpa 2%, dan hati 2% (Rodolph dan Heymann, 1968). Darah balik ke plasenta akan melalui 2 arteri hipogastrika yang bersambung ke arteri umbilikal.
Setelah lahir pembuluh tali pusat, duktus arteriousus, foramen ovale, dan duktus venosus secara alamiah akan menciut, dengan demikian hemodinamika sirkulasi janin mengalami perubahan besar. Pemutusan tali pusat dan pengembangan paru, mengakibatkan perubahan sirkulasi pada domba (Assali, dkk 1968 ; Assali 1974). Tekanan arteri sistemik mula-mula akan menurun akibat perubahan arus darah pada duktus arteriosus, namun akan meningkat kembali bahkan lebih tinggi dari awal. Kesimpulannya ialah beberapa faktor berpengaruh: arus pada duktus arteriosus, perbedaan tekanan arteri pulmoner dan aorta, dan terutama tekanan oksigen yang melalui duktus arteriosus. Hal ini dibuktikan dengan percobaan pada domba, tekanan oksigen akan merubah arus darah pada duktus. Bila tekanan oksigen lebih dari 55 mmHg, arus akan berkurang; sebaliknya ventilasi dengan nitrogen akan mengembalikan arus darah. Duktus akan menutup secara fungsional pada 10-96 jam setelah lahir dan secara anatomik pada minggu ke 2-3 (Clymann dan Heymann, 1981). Perubahan arus darah pada duktus berkaitan dengan kadar oksigen ternyata dipengaruhi oleh kerja prostaglandin E2. Zat ini membuat duktus berdilatasi dan menjaga agar tetap demikian selama in utero. Bukti didapat yaitu bila diberi penghambat (inhibitor) synthase maka mungkin terjadi penutupan yang prematur, dan hal ini dapat digunakan sebagai terapi pada postnatal guna menutup patent ductus arteriosus, PDA (Brash dkk, 1981).
Distal dari arteri hipogastrika mulai kandung kemih sampai tali pusat, akan mengalami atrofi pada 3-4 hari postnatal, dan menjadi ligamenetum umbilikal; sedangkan vena umbilikal menjadi ligamentum teres. Demikian pula duktus venosus menjadi ligamentum venosus.

Darah Janin
Hematopoesis
Pada awal embrio hematopoesis terdapat di yolk sac, kemudian akan berkembang di hati dan akhirnya di tulang sumsum (gambar 1). Bermula eritrosit janin berinti dan makrositik, namun sejalan dengan perkembangan janin ia menjadi tak berinti. Volume darah berkembang demikian juga kadar hemoglobin. Kadar Hb pada pertengahan kehamilan ialah 15 g/dl dan pada akhir kehamilan menjadi lebih tinggi yaitu 18 g/dl. Sebaliknya kadar retikulosit menurun menjadi hanya 5% pada aterm; usia eritrosit janin ternyata hanya 2/3 dari eritrosi t dewasa, sedangkan pada janin yang lebih muda usianya jauh lebih pendek. (Person, 1966). Hal ini berkaitan dengan jumlah eritrosit yang banyak sekali dan dianggap sebagai ‘eritrosit stres’. Secara struktural dan metabolik memang eritrosit janin berbeda, mudah lentur agar menyesuaikan dengan viskositas tinggi, dan mengandung beberapa enzim untuk tujuan yang beda.

Eritropoesis
Bila dalam keadaan anemik janin dapat membuat eritropoetin dalam jumlah banyak dan di ekskresi kedalam cairan amnion (Finne, 1966 ; Sivny dkk, 1982). Peran eritropoetin dalam eritropoesis dilaporkan oleh Zanjanin dkk, 1974. Dengan menyuntikkan eritropoetin, maka retikulosit pada domba akan menurun dan berkurangnya radioiron pada eritrosit; sebaliknya kondisi anemia akan meningkatkan kadar materi eritropoetin; agaknya sumber eritropoetin yang banyak ialah hati dan bukan ginjal. Setelah kelahiran, umumnya kadar eritropoetin tak dapat dilacak sampai 3 bulan.

Volume darah janin
Jumlah volume darah janin manusia sukar ditentukan. Usher dkk, 1963 mengukur volume bayi baru lahir dan menemukan rata-rata ialah 78 ml/kg bila tali pusat dijepit segera. Sedangkan Grunewald 1967 mendapatkan jumlah darah 45 ml/kg janin pada plasenta. Jadi total darah janin plasenta aterm kira-kira 125 ml/kg janin.

Hemoglobin janin
Pada janin, hemoglobin berbeda dengan orang dewasa,. Ada 3 jenis Hb pada periode mudigah, yaitu : yang paling awal ialah Gower –1 dan Gower –2 (Pearson, 1966) dan kemudian Hb Portland. Struktur Gower 1 mengandung rantai 2 teta peptida dan 2 rantai Y, sedangkan pada Gower –2 ada 2 rantai alfa dan 2 rantai E.
Hemoglobin F (=Fetus yang resiten pada alkali) mengandung sepasang rantai alfa dan sepasang rantai Y per molekul Hb. Sebenarnya ada 2 jenis rantai Y yang rasionya tetap sesuai dengan perkembangan janin. (Fadel dan Abraham, 1981 ; Huisman dkk, 1970).
Hemoglobin A yang dibentuk terakhir oleh janin, dan kemudian akan diproduksi setelah lahir dapat ditemukan sejak l11 minggu kehamilan dan diproduksi secara progresif. Ternyata pergeseran dari Hb F ke Hb a dimulai sejak usia 32-34 minggu, dan berkaitan dengan proses metilasi gen Y rantai globin. Pada kehamilan dengan diabetes ternyata ada perlambatan atau hipometilasi sehingga terdapat Hb-F persisten. Globin pada Hb A terdiri dari sepasang rantai alfa dan sepasang rantai B. Hb-A2 yang mengandung sepasang rantai alfa dan sepasang rantai delta, terdapat dalam jumlah sedikit pada bayi baru lahir dan akan bertambah kadarnya setelah lahir. Jadi ada pergeseran dari produksi globin baik sebelum lahir maupun setelah kelahiran.
Pada hemoglobin F daya ikat/saturasi oksigen lebih kuat dibandingkan Hb A pada kondisi pH dan tekanan oksigen yang sama (gambar 2). Hal ini disebabkan Hb A mengikat 2,3 diphosphoglycerate lebih kuat, dan akan mengurangi ikatan hb dengan oksigen ( de verdier dan Garby, 1969). Ikatan oksigen yang lebih tinggi pada eritrosit janin karena rendahnya kadar 2-3 diphosphiglycerate dibandingkan eritrosit ibu – yang juga meningkat dibandingkan bila tak hamil. Pda temperatur yang lebih tinggi afinitas oksigen dengan eritrosit janin menurun, seperti pada demam, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.
Karena eritrosit yang mengandung Hb-F lebih sedikit sedangkan yang mengandung hb-A lebih banyak, kadar Hb setelah kelahiran akan mengecil. Pada saat kelahiran 3 / 4 ialah hb-F dan pada usia 6-12 bulan akan lebih banyak Hb-A (Schulman dan Smith, 1953).

Faktor koagulasi janin
Konsentrasi beberapa faktor koagulasi pada saat kelahiran ialah lebih rendah dibandingkan beberapa minggu kemudian (sell dan Orrigan, 1973). Beberapa faktor tersebut ialah : II, VII, IX, X, XI, XII, XIII dan fibrinogen. Tanpa vitamin K profilaksis, kadar faktor koagulasi akan menurun dalam beberapa hari setelah kelahiran terutama pada bayi yang minum ASI, hal ini berpotensi perdarahan.
Kadar trombosit bayi baru lahir adalah normal seperti dewasa, sedangkan kadar fibrinogen lebih rendah. Waktu trombin agak memanjang dibandingkan dengan anak dan dewasa. Pengukuran faktor VIII pada darah tali pusat menjadi penting dalam diagnosis hemofilia pada anak laki-laki. (Kasper dkk, 1964). Fungsi faktor XIII (stabilisasi fibrin) menurun karena kadarnya rendah dibandingkan dengan dewasa. (Henriksson dkk, 1974). Hal ini patut dicurigai bila ada perdarahan merembes pada tunggal tali pusat.
Nielsen (1969) menemukan plasminorgen yang rendah, dan lebih tingginya aktifitas fibrinolitik pada darah talipusat dibandingkan dengan darah ibu.

Protein Plasma Janin
Rata-rata kadar protein plasma total dan albumin plasma pada ibu nan darah tali pusat adalah sama. Sebagai contoh Foley dkk, 1978 mendapatkan protein plasma total masing-masing 6,5 dan 5,9 g/dl sementara kadar albumin ialah ; 3,6 dan 3,7 g/dl.


Browse > Home / Artikel Kedokteran / Pediatrik / Penyakit Membran Hialin 
Penyakit Membran Hialin 
2 komentar 
5:22:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Pediatrik 

Penyakit membran hialin (PMH) sering ditemukan pada bayi prematur. Terutama apabila bayi tersebut lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah, uterus selama kehamilan misalnya ibu penderita diabetes, toksemia, hipotensi, secio sesarea atau perdarahan antepartum.1

Tanda-tanda PMH biasanya tampak dalam beberapa menit kelahiran yaitu : dispnea dan hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 x/menit. Sianosis retraksi di daerah epigastrium, supra sentral, intercostal pada saat inspirasi. 1,2,3
Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini baik dalam hal pencegahan, diagnosis dan penatalaksanaan penderita dapat membantu menurunkan angka kematian penyakit.1
I.2. ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian penyakit ini sebenarnya sulit ditentukan karena diagnosa pasti hanya dapat ditegakkan dengan autopsi. Angka kejadian penyakit mempunyai kaitan erat dengan riwayat kehamilan dan persalinan. Kejadian penyakit akan meningkat pada bayi lahir kurang bulan (masa gestasi kurang dari 34 minggu). Partus presipitatus yang menyertai perdarahan ibu, asfiksia, ibu penderita diabetes. Disamping itu terdapat beberapa faktor kehamilan yang dianggap dapat menurunkan kejadian penyakit membran hialin dalam hal ini ibu yang mendapat pengobatan steroid saat hamil.1
PMH terutama terjadi pada bayi prematur. Insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. PMH ini 60 – 80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15 – 30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, 5% pada bayi lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan.2,3
Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, kehamilan kembar, persalinan dengan seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin, ada riwayat bayi sebelumnya terkena insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.5
II.1. PENGERTIAN
PMH disebut juga Respiratory Distress Syndrome (RDS), hal ini adalah salah satu problem dari bayi prematur menyebabkan bayi membutuhkan ekstra oksigen untuk membantu hidupnya.5
Pada penyakit membran hialin dapat menyebabkan hipoksia yang menimbulkan kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveolus dan terbentuk fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.1

II.2. ETIOLOGI 
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan paru yang belum sempurna antara lain : bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu dengan : 2,4
1.Diabetes
2.Toxemia
3.Hipotensi
4.SC
5.Perdarahan antepartum.
6.Sebelumnya melahirkan bayi dengan PMH. 
Penyakit membran hialin diperberat dengan : 5,6
1.Asfiksia pada perinatal
2.Hipotensi
3.Infeksi
4.Bayi kembar.


II.3. PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini PMH dianggap terjadi kaena defisiensi pembentukan zat surfaktan pada paru bayi yang belum matang. Surfaktan adalah zat yang berperan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidil gliserol, apoprotein, kolesterol. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin yang mulai dibentuk pada umur kehamilan 22 – 24 minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi normal setelah minggu ke 35.2,5
Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveolus untuk mengurangi tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan jalan mencegah kolapsnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Namun karena adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca lahir.2
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan : (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.3,4
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.
Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar spesifik, yaitu organel yang mengandung gulungan fosfolipid dan terikat pada membran sel, dibentuk dalam sel-sel tersebut dan disekresikan ke dalam lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang disebut mielin tubular dibentuk dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya membentuk lapisan fosfolipid. Sebagian kompleks protein-lipid di dalam surfaktan diambil ke dalam sel alveolus tipe II secara endositosis dan didaru-ulang.7
Ukuran dan jumlah badan inklusi pada sel tipe II akan meningkat oleh pengaruh hormon tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih parah pada bayi dengan kadar hormon tiroid plasma yang rendah dibandingkan pada bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses pematangan surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormon glukokortikoid. Menjelang umur kehamilan cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serta jaringan parunya kaya akan reseptor glukokortikoid. Selain itu, insulin menghambat penumpukan SP-A dalam kultur jaringan paru janin manusia, dan didapatkan hiperinsulinisme pada janin dari ibu yang menderita diabetes. Hal ini dapat menerangkan terjadinya peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita diabetes.

II.4. GEJALA KLINIS
Bayi penderita penyakit membran hialin biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat badan antara 1200 – 2000 g dengan masa gestasi antara 30 – 36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 g dan masa gestasi lebih dari 38 minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama pada umur 6 – 8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24 – 72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis dan perforasi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan keadaan klinis seperti : 1,2,3
1.Dispnea atau hiperpnea.
2.Sianosis.
3.Retraksi suprasternal, epigastrium, intercostal.
4.Rintihan saat ekspirasi (grunting).
5.Takipnea (frekuensi pernafasan . 60 x/menit).
6.Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru.
7.Mungkn pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya duktur arteriosus yang paten yang disertai pula timbulnya.
8.Kardiomegali.
9.Bradikardi (pada PMH berat).
10.Hipotensi.
11.Tonus otot menurun.
12.Edem.
Gejala PMH biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3. Sesudahnya terjadi perbaikan perlahan-lahan. Perbaikan sering ditunjukan dengan diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi bayi dengan kadar oksigenasi bayi yang lebih rendah.2,5,6
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit biasanya terjadi antara hari ke-2 dan ke-3 dan disertai dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru atau interventrikuler.2

II.5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Gambaran radiologik 1,2,3,4,6
Pemeriksaan foto roentgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan diagnosis yang tepat.
Disamping itu pemeriksaan juga bermanfaat guna menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang mempunyai gejala serupa seperti hernia diafragma, pneumotoraks dan lain-lain. Pada permulaan penyakit gambaran foto paru mungkin tidak khas, tetapi dengan berlanjutnya penyakit maka akan terlihat gambaran klasik yang karakteristik untuk penyakit tersebut. Pada foto roentgen akan terlihat bercak difus berupa infiltrat retikulogranular disertai adanya tabung-tabung udara bronkus (air bronhcogram). Gambaran retikulogranular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas.

II.6. DIAGNOSIS
Diagnosis tegakkan kumpulan beberapa penemuan : 1
1.Gejala klinis :
a.Dispnea.
b.Merintih (grunting).
c.Takipne.
d.Retraksi dinding toraks.
e.Sianosis.
f.Brakikardi (PMH berat).
g.Hipotensi.
h.Hipotermi.
i.Tonus otot menurun.
j.Edem dorsal tangan/kaki.
2.Gambaran radiologi :
Ditemukan bercak difus berupa infiltrat retikulogranuler dan air bronchogram.
3.Laboratorium 
Kimia darah :
a.Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl
b.Merendahnya bikarbonat standar
c.pH darah dibawah 7,2
d.PaO2 menurun
e.PaCO2 meninggi.
Pemeriksaan fungsi paru membutuhkan alat yang lebih lengkap dan pelik. Frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan fungsi paru lainnya seperti isi alun napas yang menurun, lung compliance berkurang, kapasitas sisa fungsional yang merendah, disertai kapasitas vital yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
Pemeriksaan fungsi kardiovaskular pada penderita penyakit yang berat akan menunjukkan adanya hipotensi. Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan fungsi kardiovaskular berupa duktus arteriosus yang paten, pirau dari kiri ke kanan atau kanan ke kiri tergantung dari beratnya penyakit dan menurunnya tekanan arterial paru/sistemik.
Pada pemeriksaan autopsi gambaran patologik/histopatologik paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin dalam alveolus atau duktus alveolus. Disamping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membran hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofil yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.1,2,3,4,6

II.7. PENATALAKSANAAN 1,3
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. Tergantung dari ringannya penyakit maka tindakan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus. 
Tindakan umum ini terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan penunjang pada penderita ringan atau sebagai tindakan penunjang pada penderita berat. Termasuk dalam tindakan ini adalah mengurangi manipulasi terhadap penderita dan mengusahakan agar penderita ada dalam suasana lingkungan yang paling optimal. Suhu bayi dijaga agar tetap normal (36,3 – 37°C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator antara 70 – 80%.
Makanan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hari. Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hari) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi. Tergantung ada tidaknya asidosis, maka cairan yang diberikan dapat pula berupa campuran glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4 : 1. Untuk hal ini pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh perlu dilakukan secara sempurna. Disamping itu pemeriksaan elektrolit perlu diperhatiakn pula. 
Tindakan khusus meliputi :
1.Pemberian O2 3,4,5
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (retrolental fibroplasta) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan tekanan PaO2 antara 80 – 100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai gejala cyanosis menghilang.
Pada M.H.D. yang berat, kadang-kadang perlu dilakukan ventilasi dengan respirator. Cara ini disebut Intermitten Positive Pressure Ventilation (I.P.P.V.). I.P.P.V. ini baru dikerjakan apabila pada pemeriksaan O2 dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan perbaikan dan tetap menunjukkan : PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 70 mmHg dan masih sering terjadi asphyxial attact walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan acidosis metabolik telah disingkirkan. 
Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent negative pressure ventilation, nasopharyngeal tube ventilation dan lain-lain.

2.Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah terjadinya infeksi sekunder. Antibiotik diberikan adalah yang mempunyai spektrum luas penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hari) atau ampicilin (100 mg/KgBB/hari) dengan gentamisin (3-5 mg/KgBB/hari). 3,4 
Antibiotik diberikan selama bayi mendapatkan cairan intravena sampai gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi.
3.Pemberian Surfaktan Buatan 1,5
Pengobatan lain yang membuka harapan baru berdasar atas penelitian Fujiwara (1980) dan Morley (1981). Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang berasal dari cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini masih dalam taraf penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan baru.

II.8. PENCEGAHAN 2,6
1.Tindakan pencegahan utama sebenarnya adalah menghindari terjadinya kelahiran bayi prematur.
2.Mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan lesitin dan sfengomielin dalam cairan amnion bila perbandingan antara lesitin dan sfengomielin kurang dari 2 maka berarti jumlah surfaktan pada penderita masih kurang.
3.Pemberian kortikosteroid yang dilakukan pada persalinan prematur yang dapat ditunda selama 48 jam yang biasa dipakai berupa kortisol 1, 2, 4 dengan dosis 12 mg/hari diberikan 2 hari berturut-turut.
4.Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur segera sesudah lahir atau selama umur 24 jam.
II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi PMH dan perawatan intensif. Komplikasi paling serius intubasi trakea adalah asfiksia karena obstruksi pipa, henti jantung selama intubasi atau pengisapan, dan perkembangan selanjutnya yaitu stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikula faring posterior, ekstubasi sukar shingga memerlukan trakeostomi, ulserasi lubang hidung akibat tekanan pipa, penyempitan permanen pada lubang hidung karena cedera jaringan dan parut akibat iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, penarikan plika vokalis, ulkus laring, papiloma plika vokalis dan serak persisten, stridor atau edema.2
Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah : 1,5,8
1.Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat juga di ganglia basalis dan jaringan otak.
2.Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu, gerakan bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.
3.Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.
4.Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan payah jantung yang sulit untuk ditanggulangi. 

II.12. PROGNOSIS
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40 %. Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya sangat baik.3
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan intensif maupun secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah 1.000 g bertahan hidup, dan mortalitas secara progresif menurun pada berat badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2.500 g. walaupun 85 - 90% dari semua bayi PMH, yang bertahan hidup setelah mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1.500 g adalah jauh lebih baik; sekitar 80% dari mereka yang beratnya dibawah 1.500 g tidak mengalami sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi PMH yang berahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti.2
DAFTAR PUSTAKA


1.Asril Aminullah & Arwin Akib. Penyakit membran Hialin, dalam Markum (editor), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.

2.Lowell A. Glasgow & James C. Over all JR. IRDS dalam Behrman & Vaughan (editor), Nelson Textbook of Pediatric, 1st (Chapter, 12th edition, EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.

3.Asril Aminullah. Gangguan Pernapasan, dalam Rusepno Hassan & Husein Alatas (editor), Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian IKA FKUI, Jakarta, 1985, hal. 1083-1087.

4.Waldemar Carlo. Sindrom Distress Respirasi, dalam Klaus & Fanaroff (editor), Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, 4th Edition, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289.

5.Lucile packard children’s Hospital at Stanford. High Risk Newborn Hyaline membrane disease/Respiratory Distress Syndrome, USA available from http://www.google.com. 

6.Edited by George F. Smith, and Dharmapuri Vidyasagar, Published by Nead Johnson Nutritional Division, 1980 Not Copyrighted by Publisher, The Treatment of Hyaline Membrane Disease, Victor Chernick, M.D., F.R.C.P.(c.) available from http://Historical_Review_and_Recent_Advances. 

7.William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, editor M. Djauhari Widjajakusumah, EGC, Jakarta, 1998.

8.Arif Mansjoer, Suprahaito, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Penyakit Membran Hialin, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, hal. 507-508.



Browse > Home / Artikel Kedokteran / Obgin / NITRIC OXIDA DALAM OBSTETRI 
NITRIC OXIDA DALAM OBSTETRI 
1 komentar 
5:16:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Obgin 

Penemuan terakhir tentang gas nitric oxida yang terdapat dalam seluruh sel tubuh mempengaruhi proses biologis, membawa pengaruh besar dalam bidang obstetri. Nitric Oxida disintesa dari asam amino L. arginine dalam berbagai sel tubuh sebagai akibat rangsangan tertentu dan menimbulkan respon biokimia pada efektor sel, misalnya sel endotel pembuluh darah menghasilkan NO yang berdifusi ke sel-sel otot polos dinding vaskuler yang menyebabkan relaksasi dan dilatasi. Penelitian menunjukkan bahwa produksi NO meningkat pada kehamilan yang menyebabkan vasodilatasi dan berkurangnya sensitivitas terhadap zat vasokonstriktor seperti angiotensin II. Selain itu NO juga diproduksi dalam jaringan otot polos uterus yang ikut dalam proses timbulnya kontraksi uterus. Beberapa bukti menunjukkan bahwa penurunan produksi NO merupakan faktor timbulnya persalinan pada hamil aterm. NO juga diproduksi oleh plasenta yang berperan dalam mengatur sirkulasi utero plasenter.

Penelitian menunjukkan dalam keadaan kehamilan abnormal seperti ; preeklamsia, persalinan prematur dan pertumbuhan janin terhambat (IUGR); ternyata produksi NO menurun dan rangsangan pembentukan NO mempunyai pengaruh yang baik terhadap keadaan diatas.
Untuk meningkatkan produksi NO dapat dilakukan dengan meningkatkan precursor, meningkatkan kerja enzym NOS (Nitric Oxide Synthase) atau memberikan obat-obatan yang mengandung NO pada jaringan, seperti Glyceryl Trinitrate.
Dalam pembuluh darah (vaskulatur) NO menyebabkan vasodilatasi, menghambat agregasi platelet, mencegah adhesi neutrophil dan platelet pada sel endotil, menghambat proliferasi serta migrasi sel otot polos, mengatur apoptosis dan mempertahankan fungsi barier sel endotil. 
NO yang diproduksi oleh sel-sel syaraf (neuron) bertindak sebagai neuro-transmitter, sedangkan yang dihasilkan oleh macrophage akibat invasi microbakteri bertindak sebagai antimikroba. Karena neuron, pembuluh darah dan sel dari immune sistim adalah bagian integral dari organ reproduksi maka diduga NO berperan penting dalam regulasi proses biologi dan fisiologi alat reproduksi. Dalam tulisan dibawah ini disampaikan peran NO dalam berbagai organ reproduksi dalam keadaan fisiologis dan patologis.


SEJARAH
Pada tahun 1916, Mitchell dkk menengarai adanya produksi NO oleh mammalia. Tannenbaun (1928), menemukan adanya NO pada mammalia. Furchgott dan Zawadski (1980) menemukan adanya EDRF ( Endothelium Derived Relaxing Factor ) dalam endothelium. Palmer (1987) menyatakan bahwa EDRF adalah NO. Feelish (1987) mengemukakan bahwa nitrat mengalami degradasi menjadi NO. Palmer (1988) menemukan bahwa NO diproduksi dari L-Arginine. Pada tahun 1992 ditemukan adanya “inducible” ( by cytokines) “Nitric Oxide Synthase” dan NO di nobatkan sebagai “Molecule of The Year” oleh editor majalah “Science”. Bahkan saat ini disebut sebagai “Molecule of the Future””

SINTESA NITRIC OXIDA.
NO disintesa dari L-Arginine, dengan pengaruh enzym NO Synthase (NOS). Terdapat tiga bentuk isoform NOS yaitu : Brain NOS ( bNOS ) atau neuronal NOS (nNOS atau NOS1) ; endothelial NOS (eNOS atau NOS3) atau disebut constitutive NOS (cNOS) yang bertanggung jawab terhadap produksi NO basal dan untuk aktifasi memerlukan calcium / calmodulin ( Griffith, 1995 ). Karena aktifitas NOS tergantung adanya substrat dan cofactor NaDPH, flavine mononucleotide (FMN), flavine arginine dinucleotide (FAD), THB, adanya cofactor menentukan kecepatan NO synthesis, maka semua aktifitas metabolisme yang menghasilkan atau menghambat cofactor dalam keadaan fisiologis maupun patologis akan menentukan produksi NO, misalnya glucose yang merangsang pembentukan NaDPH melalui pentose phosphate pathway, merangsang konversi dari L-arginine menjadi L-citruline. Aktifitas NOS dapat dihambat dengan menghambat flavoprotein dan haem. NO sendiri dapat mengatur aktifitas dirinya dengan adanya “feed back inhibition”. Pada sel-sel yang mengandung L-arginine sedikit, pembentukan super oxyde meningkat, sedangkan adanya L-arginine menurunkan produksi super oxyde.
Super oxyde ( •O2¯ ) yang terbentuk dari L-arginine dalam konsentrasi rendah bereaksi dengan NO, menghasilkan peningkatan peroxynitrite ( 0 NOO¯ ) dan keadaan ini dapat dihambat oleh penghambat NOS yang spesifik seperti N-nitro L-arginine methylester ( L-NAME ). 
Pentingnya NO sebagai regulator homeostasis vaskuler menunjukkan bahwa gangguan biosintesa dan aktifitas NO akan menyebabkan keadaan patologis dari vaskuler. Terdapat 3 (tiga) skenario :
1.Defisiensi NO
Pembentukan NO yang menurun pada sistim vaskuler terlihat pada proses atherosclerosis, hipertensi, esensiil dan diabetes. Kelainan ini berciri khas dengan adanya kerusakan endotil, penimbunan lemak teroksidasi, phagosit dan aktivasi platelet yang berakibat proliferasi otot polos vaskuler serta komplikasi iskemik dan trombotik. Selain modulasi fungsi platelet, NO menghambat adhesi leukosit, mitogenesis dan proliferasi sel otot polos, berkurangnya mitogen dari pletelet.
2.Produksi Yang Berlebihan dari NO
Interaksi antara bacteria dan produc cytotoxic ( endo dan exotoxin), cytokine (hormon leucocyt yang terbentuk selama keradangan) akan menghasilkan i.NOS. I.NOS akan menyebabkan produksi yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama, keadaan ini diperkirakan penyebab dari hipotensi, kardiovaskuler kolap,kerusakan,collaps, serta kerusakan jaringan dan sel pada “septic shock”. Akibat lain adalah stimulasi yang lama dari “Soluble Gyanylate Cyclase” dan inhibisi enzym vital untuk sel respirasi dan pembelahan. Keadaan-keadaan diatas menyebabkan glomerular thrombosis.

3.Pembentukan Peroxynitrite
NO bereaksi dengan superoxide anion ( •O2¯) menghasilkan radikal, terbentuk peroxynitrite (ON00¯) suatu oxida yang poten. Saat ini ditemukan bahwa ON00¯ menyebabkan agregasi platelet pada manusia. Aksi agregasi ini dapat dihambat oleh thiol grup sebagai akibat reaksi S–Nitroso thiol’s dengan NO. Akibat yang disebabkan aksi ON00¯ tergantung dimana radikal ini terbentuk.

Transpor Nitrik Oksida
Mula-mula diperkirakan dalam menjangkau target intrasel NO melakukan diffusi secara bebas melalui membran sel, tetapi karena “half-life” yang pendek ( < 30 detik) dan reaktifitasnya yang tinggi dengan •O2¯, haern dari non – haern – iron, konsep difusi bebas ditolak. S-nitrosyl compound adalah produk ikatan reaksi NO dengan thiol ( ¯SH ) yang secara biologis aktif tetapi stabil. Mula-mula pengaruh NO terhadap proses biologis melalui aktifasi guanilate cyclose dan guanosine 3¹ 5 cyclic monophosphate. Pembentukan cGMP akan menyebabkan relaksasi, menghambat pembentukan sel otot polos dan mencegah agregasi platelet serta melekatnya neutrofil pada endotil. Ternyata hasil penelitian menunjukkan NO dapat merangsang efek biologis tidak melalui cGMP pathway. NO dapat berikatan dengan thiol ( ¯SH ) group dari glyceraldehyda –3- phosphate dehydrogenese ( GADPH ), dan melalui mekanisme ini diperkirakan NO menurunkan aktifitas glycolytic yang berhubungan dengan “myocardial stunning”, reperfusion injury dan neurotoxisitas dan menghambat respirasi mitochondria. Mekanisme yang lain termasuk S-nitrosylasi dari thiols, pembentukan nitrotyrosine, NO berikatan dengan cluster iron-sulphur. Dapat pula NO bersifat sebagai scavenger radikal bebas dan menetralisir •O2¯, sehingga mencegah toxisitas sel. Dalam kondisi tertentu, reaksi NO dengan •O2¯, dapat menghasilkan peroxynitrate ( 0 NOO¯ ). 

NO Sebagai Regulator Sistim Reproduksi Wanita
NO merupakan produk dari berbagai sel dalam organ yang berbeda, termasuk sel otot polos, sel mesangial, neuron, platelet, hepatocyte, macrophage, fibroblast dan sel epitel. NO mengatur tonus sel otot polos, agregasi dan adhesi platelet, pertumbuhan sel, apoptosis, neurotransmisi dan reaksi immunologis terhadap infeksi dan trauma. Hal ini menunjukkan betapa penting peran NO dalam berbagai proses physiologis, pathophysiologis sistim reproduksi.

Ovarium
Peran NO dalam mengatur fungsi ovarium terlihat dari peningkatan produksi NO saat folliculogenesis dan ovulasi, demikian pula peningkatan kadar oestrogen. Konsentrasi NO dalam sirkulasi yang meningkat pada folliculogenesis terlihat pada wanita yang mengalami fertilisasi invitro yang diberi terapi dengan GnRH, HMG dan HCG, yang mengakibatkan hormon FSH, LH, Progesteron terlibat dalam pengaturan produksi NO dan folliculogenesis. Bahwa NO berperan pada proses ovulasi terbukti pada percobaan binatang ( tikus ), dimana pemberian NOS inhibitor intra peritoneal atau melalui bursa ovarii, menghambat ovulasi. Yang masih tidak jelas adalah peran ini dilakukan oleh eNOS, nNOS atau iNOS. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa eNOS dan iNOS terlihat dalam proses ovulasi, secara simultan. Karena sel theca, sel luteogranulosa dan sel pada corpus lutheum terlibat dalam steroidogenesis, jelas NO terlihat dalam proses regulasi sintesa steroid. Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi NO baik oleh sel ovarium maupun endotil pembuluh darah memegang peran penting dalam physiologis dan biologi folliculo genesis dan ovulasi. Implikasi klinik penemuan ini belum jelas, masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan patologis disfungsi ovarium berhubungan dengan berkurangnya vaskuler dan NO synthesis intra ovarium dan apakah defek ini dapat diperbaiki dengan pemberian NO. Disfungsi ovarium karena gangguan vasooklusi kemungkinan dapat diberikan terapi NO donor atau secara tidak langsung pemberian IL-1. 

Tuba Fallopii
Dalam tuba fallopii NO menyebabkan kontraksi tuba baik pada binatang maupun manusia. Dalam tuba terdapat iNOS dan eNOS yang distribusinya merata dalam isthmus, fimbriae maupun ampula. Produksi NO basal memfasilitasi mobilitas sperma dan melindungi ovum serta sperma dari kerusakan radikal bebas, NO juga mengatur denyut rambut-rambut getar epitel sel.
Berbeda dengan keadaan physiologis, pada keadaan patologis ( seperti infeksi, endometriosis ), synthesa NO meningkat yang menyebabkan gangguan fertilitas melalui efek toxis pada spermatosit dan oosit, karena NO mempengaruhi denyut rambut getar dengan sendirinya mempengaruhi transport embrio dan menyebabkan abortus.

Uterus
Uterus mengalami perubahan struktur saat proses menstruasi dan saat kehamilan, karena NO mengatur kontraksi sel otot polos dan kontraksi spontan serta distensi uterus selama hamil, peran NO dalam regulasi patofisiologi maupun biologi sangat menarik perhatian.
Syaraf dan vaskularisasi uterus menunjukkan aktifitas NOS yang mengatur kontraksi. Selain dalam syaraf dan pembuluh darah NOS terdapat pula dalam glandula dan epitel, sel stroma endometrium, sel otot polos miometrium, sel mast, hal ini menunjukkan bahwa NO mempunyai peran lokal pada fungsi uterus.
Ekspresi eNOS dan iNOS meningkat waktu hamil dan menurun saat persalinan. Selama kehamilan efek relaksasi dari NO meningkat dibandingkan waktu kehamilan aterm dan saat persalinan prematur. Dari hasil pengamatan ternyata : 1). Nitroglycerine merelaksasi uterus. 2). Nitroglycerine menghambat persalinan prematur. 3). Amyl nitrate menghambat kontraksi uterus karena induksi. 4). NO donor menghambat kontraksi uterus, kesemuanya ini menunjukkan bukti bahwa secara berbeda NO mengatur kontraksi uterus selama kehamilan dan persalinan.
Bansal dkk (1977) menemukan pada manusia expresi aktifitas miometrial iNOS tertinggi waktu preterm dan menurun 75% waktu inpartu. Penemuan ini menunjukkan pentingnya peran NO pada kehamilan dan persalinan.
Peran cytokine sangat penting pada kehamilan. Cytokine seperti IL-1 dan TNF meningkatkan expresi iNOS dan merangsang synthesa NO, sedangkan IL-4, IL-10 dan TGF menghambat aktifitas iNOS. Peningkatan aktifitas iNOS selama kehamilan disebabkan cytokine dan penurunan terutama disebabkan “inhibitory cytokine”.
Hormon ovarium juga merangsang iNOS dalam uterus dan ikut mengatur fungsi uterus. Peran eNOS dalam sel stroma dan endometrium tak jelas, mungkin pembentukan NO kedalam lumen memfasilitasi proses seperti menstruasi, implantasi melalui synthesa prostaglandin. NO yang diproduksi eNOS dapat bekerja sebagai alternatif inhibitor agregasi platelet melalui aktifasi pembentukan guanylyl cyclase melalui katalisis cyclo-oxigenase. Synthesa NO lokal dalam uterus penting dalam mengatur aktifitas miometrium seperti kontraksi uterus.

Cervix dan Vagina
Buhimsche dkk (1996), mendapatkan dalam cervix tikus terdapat iNOS, nNOS dan eNOS. Expresi iNOS meningkat pada cervix dan menurun pada uterus selama persalinan dan persalinan premature. nNOS pada cervix meningkat waktu persalinan, eNOS tidak berubah selama kehamilan dan persalinan. Keadaan ini menunjukkan bahwa aktifitas NOS di uterus dan cervix diatur berbeda selama persalinan dan menyangkut remodeling jaringan ikat selama pembukaan cervix. Dengan pemberian L-NAME durasi persalinan diperpanjang. Penemuan ini berkaitan dengan peran macam-macam isoform dari NOS dalam mengaturnya. Faktor mana yang mengatur induksi dari iNOS mempunyai implikasi terapi. Pemberian zat yang dapat merangsang iNOS secara selektif akan merangsang pembukaan cervix dan persalinan.
Cytokine dan factor matrix dikenal merangsang aktifitas iNOS, sedangkan NO memodulasi enzym jaringan ikat seperti matrix metalloproteasis. Perubahan hormon dan reseptor terjadi selama kehamilan dan persalinan yang dapat mengatur aktifitas iNOS. Ali dkk (1997), mengemukakan bahwa perubahan aktifitas cervical NOS dan uterus tergantung pada progesteron. Aktifitas eNOS dijumpai pada epitel vagina dan sel otot polos.

Placenta dan Pre-eklamsia
NO yang dihasilkan sel-sel dari uterus sangat penting pada kehamilan dan persalinan, sedangkan vaskuler NO ditengarai penting pada keadaan patologis seperti pre-eklamsia, lebih-lebih vaskuler placenta memegang peranan penting dalam patofisiologis pre-eklamsia. Dalam placenta terdapat iNOS dan eNOS. Bukti secara tidak langsung tentang peran NO pada pre-eklamsia berdasarkan penelitian.
Buschimsi (1995), yang menunjukkan bahwa pemberian L-NAME (berkompetisi dengan L-Arginine dan menghambat synthesa NO) pada tikus hamil menyebabkan kondisi semacam pre-eklamsi. Pemberian L-Arginine pada tikus yang diberi infus L-NAME menurunkan tekanan darah dan memperbaiki penurunan berat badan yang terjadi dengan pemberian L-NAME saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa inhibisi NO menyebabkan kondisi seperti pre-eklamsia.
Yalampalli (1996) menunjukkan bahwa calcitonin-gene-related peptide menurunkan mortalitas fetus dan menurunkan tensi pada “L-NAME induced pre-eclampsia like-condition”. Penemuan ini mengarahkan bahwa vasokonstriksi disebabkan penurunan NO synthesis dalam vaskulatur dapat menyebabkan pre-eklamsia dan zat yang merangsang vasodilatasi melalui pembentukan NO bermanfaat untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia.
Myatt dkk (1977) menunjukkan adanya expresi eNOS, dengan demikian NO synthesis meningkat pada feto-plasental vaskulatur diperoleh dari penderita pre-eklamsia dengan atau tanpa IUGR. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan eNOS pada feto-plasental vaskulatur pada penderita pre-eklamsia merupakan respon adaptasi terhadap peningkatan hambatan, perfusi yang rendah dan hypoxia. Dengan keadaan diatas bagaimana kita dapat menerangkan peran synthesa NO pada pre-eklamsia.
Efek NO pada pertumbuhan sel otot polos mempunyai kontribusi dalam proses remodeling berhubungan dengan gangguan vaso-occlusive yang terdapat pada feto plasental microsirkulasi. Karena NO mengatur pertumbuhan sel otot polos secara berbeda yaitu : menghambat juga merangsang pertumbuhan, efek pengaturan NO pada feto-plasental micro vaskulair sel otot polos mungkin penting dan perlu diteliti.
Penurunan synthesa NO dalam vaskulatur merupakan konsekuensi kerusakan atau disfungsi endothelium, penurunan substrat L-Arginine atau peningkatan Asymetrical Dimethyl Arginine (ADMA) pada pre-eklamsia (Fickling, 1993). Terdapat kemungkinan bahwa substitusi L-Arginine meningkatkan synthesa NO dengan memperbaiki fungsi endotil yang juga berkompetisi dengan ADMA (suatu endogenos NO inhibitor).
Penelitian yang akan datang harus bertujuan untuk mengevaluasi apakah pemberian L-Arginine dapat mencegah terjadinya pre-eklamsia. Juga perlu di tunjukkan apakah kekurangan synthesa NO saja atau vasodilatator lain seperti adenosine, prostaglandin juga dapat menyebabkan kondisi seperti pre-eklamsia.
Dari sudut pandang terapi, zat yang dapat merangsang vasodilatasi atau melawan vasokonstriksi serta mencegah disfungsi endotil mungkin berguna untuk terapi penderita pre-eklamsia. Dalam hubungan ini endothelin antagonist, adenosine agonist dan hormon vasodilator (oestrogen, progesterone) berguna dan perlu diteliti. Karena umumnya vasokonstriktor merangsang dan vasodilator menghambat pertumbuhan sel otot polos, peran NO dalam mengatur nitrogen / sel otot polos pada microvasculer feto-plasental yang menyebabkan rangsangan vasokonstriktor perlu diselidiki.




Browse > Home / Artikel Kedokteran / Pediatrik / Skematik Resusitasi Neonatus 
Skematik Resusitasi Neonatus 
0 komentar 
5:13:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Pediatrik 

Browse > Home / Artikel Kedokteran / Pediatrik / Kejang Demam Pada Anak 
Kejang Demam Pada Anak 
0 komentar 
5:09:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Pediatrik 

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya.Kejang demam pada anak merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Biasanya setelah anak berumur di atas 5 tahun bila panas tidak lagi menderita kejang, kecuali penyebab panas tersebut langsung mengenai otak. Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.

DEFINISI

Kejang Demam Pada Anak
Adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh di atas 38 C, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.

Kejang Demam Sederhana
Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan s/d 4 tahun, lama kejang kurang dari 20 menit, kejang bersifat umum, frekwensi kejang kurang dari 4x/tahun, kejang timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu.

PATOFISIOLOGI KEJANG

Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme. sel
Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh:
1.Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2.Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3.Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%.
Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 C sudah terjadi kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40 C.
Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah.

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan enrgi ontuk kontraksi otot skelet yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Rangkaian kejadian di atas adalah factor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada kejang yang lama.
Factor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vascular dan udem otak serta kerusakan sel neuron.
Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.

MANIFESTASI KLINIK

Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf pusat, misalnya karena Tonsillitis, Bronchitis atau Otitis Media Akut.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi. 

Living Stone membagi kriteria kejang menjadi 2, yaitu:
1.Kejang Demam Sederhana / KDS
2.Epilepsi yang Diprovokasi oleh Demam

Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ditegakkan apabila kejang tidak memenuhi salah satu atau lebih kriteria KDS. Kejang pada Epilepsi adalah merupakan dasar kelainan, sedang demam adalah faktor pencetus terjadinya serangan.

DEFERENSIAL DIAGNOSA

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipertimbangkan apakah penyebabnya dari luar atau dari dalam susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau Abses otak. 
Sesudahnya baru difikirkan kemungkinan KDS atau Epilepsi yang diprovokasi oleh demam.

PROGNOSA

1.Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak sampai terjadi kematian.
Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.

2.Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.

3.Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :

a.riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b.kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c.kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

4.Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal.
Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.

5.Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar. 




PENANGGULANGAN

Dalam penanggulangan KDS ada 4 faktor yang harus dikerjakan, yaitu :
A.Memberantas kejang secepat mungkin.
B.Pengobatan penunjang.
C.Memberikan obat maintenance.
D.Mencari dan mengobati faktor penyebab/causatif.

A. Memberantas kejang secepat mungkin

1.Apabila penderita datang dalam keadaan kejang, segera diberikan Diazepam injeksi intravena secara perlahan dengan dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan.
Dosis sebaiknya diberikan berdasarkan berat badan :
BB < 10 kg : 0,5-0,75 mg/kgBB
BB 10-20 kg : 0,5 kg/BB
BB > 20 kg : 0,3 kg/BB
Dosis rata-rata biasanya adalah 0,3 kg/BB per pemberian.
Setelah suntikan pertama, ditunggu 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan intravena kedua dengan dosis yang sama. Apabila 15 menit setelah suntikan kedua masih terdapat kejang, diberikan suntikan ketiga dengan dosis yang sama tetapi dengan cara intramuskular.
Bila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, maka diberikan Fenobarbital atau Paraldehid secara intravena.
Perlu diperhatikan efek samping dari Diazepam, yaitu : mengantuk, hipotensi dan menekan pusat pernafasan.
Efek samping hipotensi dan penekanan pusat pernafasan terutama terjadi, apabila anak sebelumnya sudah mendapat Fenobarbital.

2.Pemberian Diazepam secara intravena pada anak yang kejang sering kali menyulitkan. Cara yang mudah dan sederhana yaitu melalui rectum dengan dosis :
BB < 10 Kg : 5 mg
BB > 10 Kg : 10 mg
Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama dapat diberikan lagi setelah ditunggu 15 menit dengan dosis yang sama. Dan bila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit maka diberikan Diazepam intravena dengan dosis 0,3 mg/Kg BB.

3.Apabila Diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Fenobarbital secara intramuskular dengan dosis awal :
Neonatus : 30 mg/kali
1 s/d 12 bulan : 50 mg/kali
> 12 bulan : 75 mg/kali.
Bila kejang tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, suntikan Fenobarbital dapat diulang dengan dosis :
Neonatus : 15 mg/kali
1 s/d 12 bulan : 30 mg/kali
> 12 bulan : 50 mg/kali.
Pemberian Fenobarbital akan memberikan hasil lebih baik bila diberikan dengan cara intravena dengan dosis 5 mg/Kg BB, dan kecepatan 30 mg/menit.

4.Difenil hidantoin deberikan untuk menanggulangi status konvulsi tanpa mengganggu kesadaran dan menekan pusat pernafasan, tetapi mengganggu frekwensi dan ritme jantung. Dosis yang dianjurkan adalah : 18 mg/KgBB dalam infus, dengan kecepatan 50 mg/menit.

5.Bila kejang tidak bisa dihentikan dengan obat-obatan di atas maka sebaiknya penderita dirawat di ruang ICU untuk diberi anestesi umum dengan theophental.

B.Pengobatan penunjang

Penderita sebaiknya dibebaskan dari semua pakaian, posisi kepala miring yaitu untuk menghindari aspirasi. Jika diperlukan dapat dipasang intubasi bahkan trachectomi.
Penghisapan lendir dilakukan secara teratur, juga diberikan oksigenasi yang memadai.
Cairan intravena diberikan dengan monitor kelainan metabolik dan elektrolit.
Bila ada kenaikan tekanan intrakranial jangan diberikan Natrium dengan kadar yang tinggi.
Bila suhu masih tinggi diberikan kompres es atau alkohol.
Obat untuk hibernasi adalah Klorpromazin 2-4 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, atau Prometasin 4-6mg/Kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Untuk mencegah udem otak diberikan kortikosteroid, misal: Kortison 20-30 mg/Kg BB dibagi dalam 3 dosis, atau Dexamethason 1 ampul setiap jam.
Awasi secara ketat fungsi vital seperti: kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung.

C.Memberikan obat maintenance

Setelah kejang dapat diatasi, tindakan selanjutnya adalah dengan pengobatan maintenance yaitu pemberian antiepileptik dengan daya kerja lama, seperti Fenobarbital atau Difenyl hidantoin.
Dosis Fenobarbital:
dosis awal (hari 1 dan 2) : 8-10 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis
hari berikutnya : 4-5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis.
Selama keadaan belum memungkinkan, antikonvulsi dapat diberikan secara suntikan.
Pengobatan maintenance merupakan upaya profilaksis, yang terbagi dalam :

1.Profilaksis Maintenance

Tujuannya adalah untuk mencegah berulangnya kejang dikemudian hari.
Bila demam, kepada penderita diberikan formula antikonvulsi dan antipiretik.
Pada awalnya pemberian antikonvulsan dan antipiretik dianggap kurang tepat, karena biasanya kejang pada KDS muncul dalam 16 pertama setelah anak demam, tetapi kenyataan membuktikan bahwa pemberian Fenobarbital dapat mencegah kejang.
Pemberian profilaksis maintenance sebaiknya sampai anak berumur 4 tahun, di mana kemungkinan anak menderita KDS sangat kecil.

2.Profilaksis Jangka Panjang

Profilaksis jangka panjang ditujukan untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik di dalam darah stabil dan cukup, guna mencegah berulangnya kejang di kemudian hari.
Diberikan pada keadaan :
a.Epilepsi yang diprofokasi demam
b.Semua KDS dengan ciri sbb:
terdapat gangguan perkembangan syaraf seperti: cerebral palsy, retardasi perkembangan dan mikrosefali
bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau terdapat kelainan syaraf yang bersifat sementara atau menetap
bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung
pada kasus tertentu yang dianggap perlu, yaitu bila kadang-kadang terdapat kejang berulang atau kejang demam pada bayi di bawah 12 bulan.

Obat yang diberikan berupa :
a.Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari.
Efek samping pemakaian jangka panjang : hiperaktif, perubahan siklus tidur, gangguan kognitif, dan gangguan fungsi luhur.
b.Asam Valproat (Epilim, Depkene)
Dapat menurunkan resiko terulangnya kejang dengan memuaskan bahkan lebih baik dibanding dengan Fenobarbital.
Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
Efek samping : mual, hepatotoxis dan pancreatitis.
c.Fenitoin (Dilantin)
Diberikan kepada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan hiperaktif.


Antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini diberikan sekurang-kurangnya selama 3 tahun. Penghentian pengobatan harus dilakukan dengan cara tapering off, dalam waktu 3-6 bulan guna menghindari rebound fenomena.

D.Mencari dan mengobati faktor penyebab/causatif.

Penyebab dari kejang demam baik KDS maupun Epilepsi yang diprovokasi demam biasanya adalah infeksi pada traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan adequat akan sangat berguna untuk menurunkan demam, yang pada gilirannya akan menurunkan resiko terjadinya kejang.
Secara akademis, anak yang datang dengan kejang demam pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan punksi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di otak maupun meningitis.
Selanjutnya apabila menghadapi anak dengan kejang yang berlangsung lama diperlukan pemeriksaan :
Punksi lumbal, darah lengkap, glukosa, elektrolit: K,Mg,Ca,Na Nitrogen darah dan fungsi hati.
Pemeriksaan foto kranium, EEG, Brain Scan, Computerized Tomografi, Pneumo Encephalografi, dan Arteriografi.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

1.Bray.P.F. Neurology in Pediatrics, Yearb.Med.Publish.Inc.1969.
2.Faero,O; Kastrup,KW ; Nielsen,EL ; Melchior and Thorn, I : Sucessful Prophylaxis of Febrile Convulsions with Phenobarbital Epilepsia 13 : 279-285, 1972.
3.Falconer, M.A ; Serafetinides, E.A ; and Corsellis J.A.A : Etiology and Pathogenesis of Temporal Lobe Epilepsy. Arch. Neurol. 10 : 233-248, 1964.
4.Fridreichsen, C and Melchior.J : Febrile Convulsion in Children Their Frequency and Prognosis. Acta Paeditric Scand (supp 100) 43 : 307-317, 1964.
5.Kaspan, M.F ; Ismudiyanto ; Yardana I.N ; Sugiyanto S. ; Atmaji D. ; dan Ranuh G : Penggunaan Diazepam Per Rectal Pada Anak Dengan Kejang. Diajukan pada KONIKA V, Medan 1981.
6.Livingston, S : The Diagnosis and Treatment of Convulsive Disorders in Children. Charles C. Thomas, Springfield.ILL, 1954.
7.Lumban Tobing, S.M. dan Ismael S. : Pengobatan Status Convulsivus pada Anak dengan Diazepam. Maj.Kedokteran Indonesia, 20 : 182-187, 1970.
8.Lumban Tobing, S.M. : Febrile Convulsions, Tesis. Jakarta 1975.


Browse > Home / Artikel Kedokteran / Obgin / Fisiologi Kardiovaskular Ibu 
Fisiologi Kardiovaskular Ibu 
0 komentar 
4:59:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Obgin 

Perubahan fisiologi dan anatomi berkembang pada banyak system organ dengan terjadinya kehamilan dan persalinan. Perubahan awal terjadi pada perubahan metabolik oleh karena adanya janin, plasenta dan uterus dan terutama kenaikan hormon kehamilan seperti progesteron dan estrogen. Perubahan selanjutnya, pada kehamilan mid trimester adalah perubahan anatomi disebabkan oleh tekanan akibat berkembangnya uterus.

Sistema Kardiovaskuler
Kehamilan akan menyebabkan perubahan sistem kardiovaskuler terutama peningkatan metabolisme ibu dan janin.

Volume darah
Volume darah Ibu akan meningkat secara progresif pada kehamilan 6 – 8 minggu dan akan mencapai maksimum pada kehamilan mendekati 32 – 34 minggu.. Peningkatan volume darah meliputi volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40 – 50 %, sedangkan sel darah merah meningkat 15 – 20 % yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis ( keadaan normal Hb 12 gr% dan hematokrit 35 %). Oleh karena adanya hemodilusi, viskositas darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti peningkatan volume darah ini belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti rennin-angiotensin-aldosteron, atrial natriuretic peptide, estrogen, progresteron mungkin berperan dalam mekanisme tersebut. Volume darah, factor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah trombosit menurun. Perubahan perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik tetapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena plasenta kaya akan tromboplastin, maka bila terjadi Solusio plasentae terdapat risiko terjadinya DIC.
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :
a.Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus dan unit foeto-plasenta.
b.Mengisi peningkatan resevoir vena.
c.Melindungi ibu terhadap perdarahan pada saat melahirkan.
d.Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.
Delapan minggu setelah melahirkan, volume darah kembali normal.

Perubahan sistem Kardiovaskuler

Cardiac output meningkat sebesar 30 – 40 % dan peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan 24 minggu. Pada awalnya peningkatan denyut jantung ketinggalan dibelakang peningkatan cardiac output dan kemudian meningkat 10 – 15 kali permenit pada kehamilan 28 – 32 minggu. Peningkatan cardiac output mula-mula tergantung kepada penginkatan stroke volume dan kemudian dengan peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar perubahan stroke volume dari pada perubahan denyut jantung.
Dengan ekhokardiografi terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end diastolic dan ada penebalan dinding ventrikel kiri. Cardiac output bervariasi tergantung kepada besarnya uterus dan posisi Ibu saat pengukuran dilakukan.
Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal ini akan menyebabkan penurunan venous return dan maternal hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hipotensive syndrome, 10% wanita hamil mengalami hipotensi dan diaphoretic bila berada dalam posisi terlentang yang bila tidak dikoreksi dapat menimbulkan penurunan uterine blood flow dan foetal asfiksia. Efek ini akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau kehamilan kembar. Cardiac output meningkat selama persalinan dan lebih tinggi 50 % dibanding dengan saat sebelum persalinan. Segera pada periode psot partum, cardiac output meningkat secara maksimal dan dapat mencapai 80 % diatas periode pra persalinan dan kira kira 100 % diatas nilai ketika wanita tersebut tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus aterjadi placental autotransfusi sebanyak 300 – 500 ml. CVP meningkat 4-6 cm H2O karena ada peningkatan volume darah ibu. Peningkatan stroke volume dan denyut jantung adalah untuk mempertahankan peningkatan cardiac output. Peningkatan cardiac output ini tidak bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan kelainan katup jantung ( misal : aorta stenosis, mitral stenosis ) atau apenyakit jantung koroner. Decompensatio cordis yang berat dapat terjadi pada kehamilan 24 minggu, selama persalinan dan segera setelah persalinan.
Cardiac output, denyut jantung, stroke volume menurun sampai kenilai sebelum persalainan pada 24 – 72 jam post partum dan kembali kelevel saat tidak hamil pada 6 – 8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan cardiac output, tekanan darah sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi tekanan darah diastolic turun 1 – 15 mmHg. Ada penurunan MAP sebab ada penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hormon hormon kehamilan seperti estradiol 17-B dan progesterone mungkin berperan dalam perubahan vaskuler Ibu.
Turunnya pengaturan a dan b reseptor juga memegang peranan penting. Selama kehamilan jantung tergeser kekiri dan atas karena diafragma tertekan ke atas oleh uterus yang membesar.
Gambaran EKG yang normal pada parturien adalah sebagai berikut :
disritmia benigna.
gelombang ST, T dan Q terbalik
left axis deviation.
Tekanan darah.
Tekanan darah arteriil tidak meningkat selama kehamilan normal. Tetapi pada trimester II terjadi sedikit penurunan tekanan diastolic. Tekanan arterial pulmonal juga relatif konstan.
Bagaimanapun tonus vaskuler lebih tergantung pada pengaruh simpatik disbanding pada wanita tidak hamil. Sehingga hipotensi sering terjadi sebagai akibat blokade simfatik pada spina maupun ekstradural anaestesi.
Tekanan vena sentral dan tekanan vena brachial tidak berubah selama kehamilan tetapi tekanan venous femoralis meingkat secara progressive oleh karena factor mekanik.

Kompresi aortokaval.
Pada kehamilan trimester II, pembesaran uterus akan menekan vena kava inferior dan aorta distal ketika Ibu hamil dalam posisi telentang. Bendungan pada vena kava akan mengurangi venous return ke jantung sehingga cardiac output juga akan menurun sampai 24 %. Pada keadaan ibu tidak dalam keadaan anestesi maka penurunan ini akan dikompensasi dengan peningkatan resistensi vaskuler sistemik dan kenaikan frekuensi denyut jantung.
Pada keadaan Ibu dilakukan anestesi, maka mekanisme tersbut tidak begitu baik, sehingga tekanan darah berkembang menjadi hipotensi. Obstruksi pada aorta distal dan cabang cabangnya akan menyebabkan aliran darah ke ginjal, unit uteroplasenta dan ekstremitas inferior menurun. Pada kehamilan trimester akhir, fungsi ginjal Ibu akan menurun pada keadaan ibu telentang dibanding pada posisi lateral.. Selanjutnya janin juga akan kurang suplai darahnya. 





Implikasi klinik.
Meskipun terjadi peningkatan kerja jantung selama kehamilan dan persalinan, kesehatan wanita tidak terganggu oleh karena adanya reserve jantung. Pada keadaan dimana ibu hamil dengan penyakit jantung dan rendahnya reserve jantung, peningkatan kerja jantung akan menyebabkan kelemahan ventrikel dan edema paru. Pada wanita ini, selanjutnya peningkatan kerja jantung dicegah dengan pemberian analgetika untuk menekan sakit terutama dengan pemberian ekstradural atau spinal anaestesi. Sejak cardiac output meningkat segera setelah post partum, blokade simpatik akan dipertahankan beberapa jam sesudah persalinan dan secara perlahan lahan akan berkurang.


Browse > Home / Artikel Kedokteran / Penyakit Dalam / Ulkus diabetik 
Ulkus diabetik 
0 komentar 
11:20:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Penyakit Dalam 

Diabetes melitus adalah kelainan metabolik dimana ditemukan ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, akibat gangguan pada mekanisme insulin yang normal, menimbulkan hiperglikemia, glikosuria, poliuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus, dan kelemahan.1

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan, gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dan lain-lain.2
Penderita diabetes melitus dapat mengalami beberapa komplikasi bersama-sama atau terdapat satu masalah yang mendominasi, yang meliputi kelainan vaskuler, retinopati, nefropati diabetik, neuropati diabetik dan ulkus kaki diabetik. 3
Menurut beberapa ahli kira-kira 4 % dari penduduk dunia menderita diabetes dan 50 % dari penderita ini memerlukan perawatan bedah. Penanggulangan gangren diabetik atau sering disebut kaki diabetes merupakan bagian penting dalam suatu klinik diabetes. Sampai sekarang kelainan vaskuler yang didapat sebagai komplikasi dari penyakit diabetes masih tetap merupakan suatu tantangan.4
Gangren diabetik bisa membahayakan dan peluang untuk menjalani amputasi yang besar maka pasien diabetes melitus dengan infeksi kaki harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. 2
II.1. Definisi.
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan resisten sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh. 5
Kaki diabetik merupakan tukak yang timbul pada penderita diabetes melitus yang disebabkan karena angiopati diabetik, neuropati diabetik atau akibat trauma. 

II.2. Patofisiologi.
Penyakit diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum / paku atau terkena benda panas.6
Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul gangguan rasa (sensorik) baal, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kalau sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut.6
Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu.4
Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan gangren.4
Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.7

II.3. Gambaran Klinis.
Gangren diabetik akibat mikroangiopatik disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki.4

Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu 4:
a. Pain (nyeri). 
b. Paleness (kepucatan). 
c. Paresthesia (parestesia dan kesemutan). 
d. Pulselessness (denyut nadi hilang). 
e. Paralysis (lumpuh). 
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari Fontaine, yaitu 4 : 
a. Stadium I ; asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan). 
b. Stadium II ; terjadi klaudikasio intermiten. 
c. Stadium III ; timbul nyeri saat istirahat. 
d. Stadium IV ; berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus). 

II.4. Klasifikasi.
Menurut berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik dibagi dalam enam derajat menurut Wagner, yaitu ;
Sistem Klasifikasi Kaki Diabetik, Wagner. 8
Derajat Lesi
0 Kulit utuh; ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati
1 Tukak superfisial
2 Tukak lebih dalam
3 Tukak dalam disertai abses dengan kemungkinan selulitis dan atau osteomielitis
4 Gangren jari
5 Gangren kaki

Klasifikasi lesi kaki diabetik juga dapat didasarkan pada dalamnya luka dan luasnya daerah iskemik yang dimodifikasi oleh Brodsky dari klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner.
Sistem Klasifikasi Kaki Diabetik, modifikasi Brodsky. 9
Kedalaman luka Definisi
0 Kaki berisiko, tanpa ulserasi
1 Ulserasi superfisial, tanpa infeksi
2 Ulserasi yang dalam sampai mengenai tendon
3 Ulserasi yang luas/abses
Luas daerah Iskemia Definisi
A Tanpa iskemia
B Iskemia tanpa gangren
C Partial gangrene
D Complete foot gangrene

II.5. Penatalaksanaan.
Pengobatan kelainan kaki diabetik terdiri dari pengendalian diabetes dan penanganan terhadap kelainan kaki.
A. Pengendalian Diabetes. 
Langkah awal penanganan pasien dengan kaki diabetik adalah dengan melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena kebanyakan pasien dengan kaki diabetik juga menderita malnutrisi, penyakit ginjal kronik, dan infeksi kronis.
Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes, salah satunya adalah terjadinya gangren diabetik. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah, paling sedikit dihambat.
Mengelola diabetes melitus langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis, berupa perencanaan makanan dan kegiatan jasmani. Baru kemudian kalau dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan langkah berikutnya, yaitu dengan penggunaan obat atau pengelolaan farmakologis.
Perencanaan makanan pada penderita diabetes melitus masih tetap merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes melitus, meskipun sudah sedemikian majunya riset di bidang pengobatan diabetes dengan ditemukannya berbagai jenis insulin dan obat oral yang mutakhir. 
Sarana pengendalian secara farmakologis pada diabetes melitus dapat berupa 3:
a. Pemberian Insulin.
b. Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
- Golongan Sulfonylurea.
- Golongan Biguanid.
- Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase.
- Golongan Insulin Sensitizing.
B. Penanganan Kelainan Kaki.
1) Strategi Pencegahan.
Fokus utama penanganan kaki diabetik adalah pencegahan terhadap terjadinya luka. Strategi pencegahan meliputi edukasi kepada pasien, perawatan kulit, kuku dan kaki dan penggunaan alas kaki yang dapat melindungi. 
Pada penderita dengan risiko rendah diperbolehkan menggunakan sepatu, hanya saja sepatu yang digunakan tidak sempit atau sesak. Sepatu atau sandal dengan bantalan yang lembut dapat mengurangi resiko terjadinya kerusakan jaringan akibat tekanan langsung yang dapat memberi beban pada telapak kaki. 3
Pada penderita diabetes melitus dengan gangguan penglihatan sebaiknya memilih kaos kaki yang putih karena diharapkan kaos kaki putih dapat memperlihatkan adanya luka dengan mudah. 3
Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita diabetes melitus adalah kuku-kuku harus dipotong secara transversal untuk mengurangi risiko terjadinya kuku yang tumbuh kedalam dan menusuk jaringan sekitar. 4
Edukasi tentang pentingnya perawatan kulit, kuku dan kaki serta penggunaan alas kaki yang dapat melindungi dapat dilakukan saat penderita datang untuk kontrol. 4

Kaidah pencegahan kaki diabetik, yaitu; 4
- Setiap infeksi meskipun kecil merupakan masalah penting sehingga menuntut perhatian penuh.
- Kaki harus dibersihkan secara teliti dan dikeringkan dengan handuk kering setiap kali mandi.
- Kaki harus diinspeksi setiap hari termasuk telapaknya, dapat dengan menggunakan cermin.
- Kaki harus dilindungi dari kedinginan.
- Kaki harus dilindungi dari kepanasan,batu atau pasir panas dan api.
- Sepatu harus cukup lebar dan pas.
- Dianjurkan memakai kaus kaki setiap saat.
- Kaus kaki harus cocok dan dikenakan secara teliti tanpa lipatan.
- Alas kaki tanpa pegangan, pita atau tali antara jari.
- Kuku dipotong secara lurus.
- Berhenti merokok.

2) Penanganan Ulkus.
Di klinik dibedakan 2 bentuk ulkus diabetik pada kaki, yaitu kaki neuropati dan kaki neuro-iskemik. 4
Kaki Neuropati Kaki Neuro-Iskemik
Panas Dingin

Pulsasi besar Pulsasi tidak ada

Sensorik menurun Sensorik biasanya ada

Warna kemerahan Pucat bila diangkat dan merah bila digantung

Ulkus pada kaki neuropati biasanya terjadi pada kalus yang tidak terawat dengan baik. Kalus ini terbentuk karena rangsangan dari luar pada ujung jari atau penekanan oleh ujung tulang. Nekrosis terjadi dibawah kalus yang kemudian membentuk rongga berisi cairan serous dan bila pecah akan terjadi luka yang sering diikuti oleh infeksi sekunder. 4
Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan, yaitu ; 9
a) Tingkat 0. 
Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan pelengkap alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat tulang yang menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan penggunaan alas kaki buatan umumnya memerlukan tindakan pemotongan tulang yang menonjol (exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.
b) Tingkat I.
Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius, perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
c) Tingkat II.
Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.
d) Tingkat III.
Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren, amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik parenteral yang sesuai dengan kultur. 
e) Tingkat IV.
Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau amputasi seluruh kaki.

II.6. Prognosis.
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin tua usia penderita diabetes melitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang serius pada kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes melitus, adanya infeksi yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis. 4

DAFTAR PUSTAKA


1. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,1998. Hal 309.
2. Noer, Prof.dr.H.M. Sjaifoellah, Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2004. Hal 571-705.
3. Isselbacher, Baraundwald, Wilson, Harrison’s Principles of internal medicine, International edition, Mcgraw Hill Book Co.,Singapore,1994.

4. Staf Pengajar Bagian Bedah FK UI, Vaskuler, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara Jakarta, 1995; hal: 241-330.

5. Pinzur M.S. Diabetic Foot, Http//www.emedicine.com/

6. Harapan, Sinar. Konsultasi, Pencurian Kaki Pada Diabetes http://rds.yahoo.com/

7. Sjamsuhidayat R, De Jong WD : Buku ajar ilmu bedah, EGC; Jakarta, 1997


8. Frykberg R.G. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management, American Family Physician, November 1, 2002.


9. WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html


10. Cunha BA: Diabetic foot infections. Emerg Med, 1997; 10: 115-24. 

11. Rush M.D. Diabetic Foot Care, Http//www.emedicine.com/









Browse > Home / Program dan Ebooks Kedokteran / Sobotta: Atlas of Human Anatomy, 13th Edition 
Sobotta: Atlas of Human Anatomy, 13th Edition 
1 komentar 
4:42:00 Diposting oleh Admin 
Label: Program dan Ebooks Kedokteran 




Sobotta Atlas of Human Anatomy, Version 1.5: 13th Edition in English
By R. Pabst,&nbspAndreas H. Weiglein, 

* Publisher: Lippincott Williams & Wilkins
* Number Of Pages: 
* Publication Date: 2001-05-01
* Sales Rank: 788590
* ISBN / ASIN: 0781740541
* EAN: 9780781740548
* Binding: CD-ROM
* Manufacturer: Lippincott Williams & Wilkins
* Studio: Lippincott Williams & Wilkins
* Average Rating: 5
* Total Reviews: 6
No doubt, it's the best!

It's the best atlas I've ever seen, it has clear images (sometimes, I think I'm seeing a photo, not a drawing), its "boxes" with information about muscles, etc. are very well done. And its "naming" of the organs, bones, etc. it's not as confusing as Netter's. I own Sobotta and Netter and, Sobotta, for me, simply defeats Netter in every single detail. A must have if you're a medical student.
Price: Rp. 20.000


Browse > Home / Program dan Ebooks Kedokteran / Dorland's Electronic Medical Dictionary: 29th Edition (Medical PC Program) 
Dorland's Electronic Medical Dictionary: 29th Edition (Medical PC Program) 
0 komentar 
7:15:00 Diposting oleh Admin 
Label: Program dan Ebooks Kedokteran 




Product Details
pages: 1974 pages
Publisher: W.B. Saunders Company
ISBN: 0721694934
Format: HTML
Size: 300 Mb Approx
Supplier: Amazon
Summary:
Encompassing the whole of medicine today, this dictionary provides omprehensiveness, accuracy, clarity and ease to use.
For over 100 years, health care professionals have relied on Dorland's for its unmatched comprehensiveness, accuracy, clarity, and ease of use. Now, the 30th Edition of the world's finest medical dictionary features an all-new design with full-color, three-dimensional line art, color photography, and diagnostic and pathologic images. The New Edition features more than 125,000 terms, including over 3,000 new terms -- over 800 related to complementary and alternative medicine -- as well as improved and expanded appendices. An accompanying CD-ROM includes the Dorland's Spellchecker program. 
Price: Rp. 20.000


Browse > Home / Program dan Ebooks Kedokteran / Radiologi / Fundamentals of Diagnostic Radiology, Third Edition (Ebooks) 
Fundamentals of Diagnostic Radiology, Third Edition (Ebooks) 
0 komentar 
6:52:00 Diposting oleh Admin 
Label: Program dan Ebooks Kedokteran, Radiologi 

Fundamentals of Diagnostic Radiology
Source: Lippincott Williams & Wilkins (LWW)

Author(s): William E Brant MD and Clyde A Helms MD
Edition: 3rd ed.
Year: 2006
ISBN-10: 0781761352
ISBN-13: 9780781761352
Pages: 1536
Illustrations: 2723

This fully updated classic guides you through the application and interpretation of all imaging modalities and is a comprehensive review of radiology that can be used as a first reader by beginning residents, referred to during rotations, and used to study for the American Board of Radiology examinations. It covers all ten subspecialties of radiology and includes over 2,700 illustrations.
* Expanded and updated coverage of all sections
* Many new illustrations and tables have been added to increase comprehension
* Multi-slice CT coverage has been expanded
* New bone imaging modalities included

The Brant and Helms Solution gives you a complete print and multimedia package consisting of the textbook, Fundamentals of Diagnostic Radiology, Third Edition, plus instant access to a brand-new interactive resource that keeps your radiology skills up-to-date. The book is a comprehensive review of radiology that can be used as a first reader by beginning residents, referred to during rotations, and used to study for the American Board of Radiology examinations. It covers all ten subspecialties of radiology and includes over 2,700 illustrations. This edition features expanded and updated coverage of all sections; many new illustrations and tables; expanded coverage of multi-slice CT; and new bone imaging modalities. This edition is available in two formats: the traditional hardbound single-volume textbook, or a softbound four-volume set. The Website features fully searchable content from the book; a downloadable image bank containing all images from the text; continuously updated imaging cases; an interactive test bank with questions from the brand-new Review of Fundamentals of Radiology; and a fully searchable anatomy library of high-resolution radiologic images.

Format: Chm
Price : Rp. 20.000


Browse > Home / Artikel Kedokteran / Neurologi / Spondylitis Tuberkulosa 
Spondylitis Tuberkulosa 
0 komentar 
5:26:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Neurologi 

Penyakit tuberculose pada vertebrae sudah lama dikenal di dunia kedokteran dan pertama-tama diuraikan dan ditulis oleh Pervical Pott dan karena itu penyakit tersebut dinamakan pott’s disease. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

Spondylitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :
1.Pada bentuk sentral
Detruksi awal terletak di sentral korpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada anak.
2.Bentuk paradikus
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.
3.Bentuk anterior
Dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi yang rendah. 

Patologi 
Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus.
Sementara itu proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa :
1.Suatu abscess paravertebrae
abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna vertebralis.
2.Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasi dan kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.
3.Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s abscess yang terlihat di bagian dada penderita.
4.Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.
5.Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan retropharyngeal abscess.
6.Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.
7.Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.
Semua abscess tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada Medulla Spinalis. 
Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.

Gejala-gejala klinik
1.Nyeri dan kaku pada punggung
2.Deformitas pada punggung (Gibbus)
3.Pembengkakan setempat (abscess)
4.Kelemahan/kelumpuhan extremitas/gangguan fungsi buli-buli dan anus
5.Adanya proses tbc.

Diagnosis Banding
Adalah fraktur kompresi traumatik atau akibat tumor. Tumor yang sering di vertebra adalah tumor metastatik dan granuloma eosinofilik. Diagnosis banding lain adalah infeksi kronik non tuberkulosis antara lain infeksi jamur seperti blastomikosis dan setiap proses yang mengakibatkan kifosis dengan/tanpa skoliosis.

Terapi 
1.Terapi Konservatif
Berupa istirahat di tempat tidur untuk mencegah paraplegia dan pemberian tuberkulostatik.
Dengan memberikan corset yang mencegah gerak vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset tadi dapat dibikin dari gips, dari kulit/plastik, dengan corset tadi pasien dapat duduk/berjalan sehingga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
2.Terapi Operatif
Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Prognose 
Umumnya penyakit tuberculose tulang punggung merupakan penyakit yang sangat menahun dan jika dapat sembuh secara spontan akan memberikan cacat pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif penyakit tadi sering dapat sembuh dalam waktu singkat, misalnya 6 bulan.

Foto Roentgen suatu spondilitis tuberkulosa akan memperlihatkan :
a.Dekalsifikasi suatu korpus vertebra
(pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut)
oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
b.“Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
c.Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
d.Abses dingin
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”).
Daftar Pustaka



1.Ngoerah, 1991. Spondilitas Tuberkulosa. Dalam Buku Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf, Surabaya; hal. 169.

2.Nelson, 1992. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Buku Ilmu Kesehatan Anak, bagian 3, Philadelphia; hal. 450-451.

3.Soeharso, 1993, Tuberculose dari spinal column, Dalam Ilmu Bedah ORTHOPEDI, Jakarta; hal. 98-103.

4.Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-1229.



Browse > Home / Artikel Kedokteran / Penyakit Dalam / Konstipasi 
Konstipasi 
0 komentar 
4:44:00 Diposting oleh Admin 
Label: Artikel Kedokteran, Penyakit Dalam 

Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim dengan konstipasi.1,2

Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Pada sebagian besar kasus, konstipasi biasanya hanya bersifat sementara, dan tidak berbahaya. Di Amerika Serikat lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini.3,4,5
II.1. Definisi
Definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.6,7
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami penghambatan dan biasanya disertai kesulitan defekasi (sujono).Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 mnggu.8,9,10
Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.4,5,10
Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.11

II.2. Epidemiologi
Sesuai dengan sigi “National Health Interview” di Amerika Serikat lebih dari 4 – 4,5 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Penderita yang mengeluh konstipasi ini kebanyakan adalah wanita, anak-anak, dan orang dewasa di atas usia 65 tahun. Wanita hamil juga sering mngeluh konstipasi, demikian pula setelah melahirkan atau pasca bedah. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Namun sebagian kecil merasa terganggu akibat konstipasi ini. Beberapa penderita dengan konstipasi fungsional (mis. “inersia kolon”), bahkan membutuhkan kolektomi abdominal total dengan anastomosis ileorectal.4,9,10
Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini. Namun sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri, tanpa pergi ke dokter. Akibatnya adalah pengeluaran biaya sebesar 500 - 725 juta dolar setiap tahunnya untuk pembelian obat-obat golongan laksans.4,5,9,10

II.3. ETIOLOGI
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa, “Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon , obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).1,4,5,10
A. Konstipasi sekunder
1.Pola hidup :
Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk, kurang olah raga.
2.Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses perineum, megakolon.
3.Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM, dan kehamilan. 
4.Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier. 
5.Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue disease”. 
6.Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang. 
7.Gangguan psikologi (depresi). 
B. Konstipasi fungsional=kontipasi simple atau temporer
1.Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi. 
2.“Irritabel bowel syndrome” 
3.Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum” 
4.Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation” 
5. Obstruksi intestinal kronik. 
6.“Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi. 
7.Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele. 
8.Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”) 
C. Penyebab lain
1.Diabetes mellitus 
2.Hiperparatiroid 
3.Hipotiroid 
4.Keracunan timah (“lead poisoning”) 
5.Neuropati 
6.Penyakit Parkinson 
7.Skleroderma 
8.Idiopatik :
Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik.(ipd)

Pola Hidup
Pola hidup seperti diet rendah serat, kurang minum dan olahraga merupakan penyebab tersering dari konstipasi. Penyebab umum dari konstipasi adalah diit yang rendah serat, seperti terdapat pada sayuran, buah, dan biji-bijian, dan tinggi lemak seperti dalam keju, mentega, telur dan daging. Mereka yang makan makanan yang kaya serat biasanya lebih jarang yang mengalami konstipasi Diit rendah serat juga memegang peranan penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Mereka biasanya kurang berminat untuk makan, dan lebih senang memilih makanan cepat saji yang kadar seratnya rendah. Selain itu, berkurangnya jumlah gigi, memaksa mereka lebih suka makan makanan lunak yang sudah diproses dengan kadar serat yang rendah.1,4,5,9,10
Dalam keadaan normal cairan akan mengisi sebagian besar usus dan feces sehingga feces mudah dikeluarkan. Penderita konstipasi sebaiknya minum air yang cukup, kira-kira 8 liter per hari. Cairan yang mengandung kafein, seperti kopi dan kola, serta alkohol memiliki efek dehidrasi, sehingga dapat meyebabkan konstipasi. urang olahraga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi, meskipun belum diketahui dengan pasti patogenesisnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada orang sakit yang melakukan istirahat yang panjang. 4,5,9,10

Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Beberapa penderita IBS mengalami spasme pada colon yang akan mempengaruhi peristaltik usus dan proses pengeluaran feces. Konstipasi dan diare muncul bergantian, kram perut dan kembung merupakan gejala yang paling sering muncul. 

Perubahan kegiatan rutin (Kehamilan, Proses penuaan, Travelling)
Terjadinya konstipasi pada masa kehamilan mungkin disebabkan karena perubahan hormonal dan uterus yang membesar menekan usus. Proses penuaan menyebabkan menurunnya proses metabolisme pada intestinal dan pada tonus otot. 
Orang sering mengalami konstipasi ketika melakukan perjalanan disebabkan oleh perubahan pola diet normal harian yang biasanya dikonsumsi.

Penggunaan Laxatives
Laxatives dapat merusak sel saraf pada usus besar dan menggangu kemampuan kontrasksi dari usus besar.

II.4. PATOFISIOLOGI
Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali perminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar harus mengejan secara berlebihan.
Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memadatkannya menjadi tinja. Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat kompleks. Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur.). Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai amplitudo tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak.1,5,10
Proses sekresi di saluran cerna mungkin dapat megalami gangguan, yaitu kesulitan atau hambatan pasase bolus di kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi. Gangguan pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena kelainan psikoneuorosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya tumor baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca gastrektomi, pasca kolesistektomi).6
Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi, perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan, atau tinja. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Begitu mencapai rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu anyak air. Hal ini terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan dan malas, menyebabkan tinja bergerak ke arah kolon terlalu lama.4,10,12
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon atau pada fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer, penggunaan obat-obat tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar penyakit sistemik yang mempengaruhi traktus gastrointestinal.8
Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun pengosongan rektum. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon tidak efektif (misalnya, pada kasus hipotiroidisme atau pemakaian opium, dan bila ada obstruksi usus besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit hirschprung). Statis tinja di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi. Pengosongan rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang dicetuskan oleh reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi sfingter ani juga bisa menyebabkan retensi tinja. 
Konstipasi cenderung menetap dengan sendirinya, apapun penyebabnya. Tinja yang besar dan keras di dalam rektum menjadi sulit dan bahkan sakit bila dikeluarkan, jadi lebih sering terjadi retensi dan terbentuklah suatu lingkaran setan. Distensi rektum dan kolon mengurangi sensitifitas refleks defekasi dan efektivitas peristaltik. Akhirnya, cairan dari kolon proksimal dapat menapis disekitar tinja yang keras dan keluar dari rektum tanpa terasa. Gerakan usus yang tidak disengaja (encopresis) mungkin keliru dengan diare.7

Akibat dari konstipasi
Sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya melakukan absorpsi cairan elektrolit, zat-zat organik misalnya glukose dan air, hal ini berjalan terus sampai di kolon descendens. Pada seseorang yang mengalami konstipasi, sebagai akibat dari absorpsi cairan yang terus berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih padat dan mengeras. Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi, sehingga akan menimbulkan haemorrhoid.
Sisa-sisa protein di dalam makanan biasanya dipecahkan di dalam kolon dalam bentuk indol, skatol, fenol, kresol dan hydrogen sulfide. Sehingga akan memberikan bau yang khas pada tinja. Pada konstipasi juga akan terjadi absorpsi zat-zat tersebut terutama indol dan skatol, sehingga akan terjadi intestinal toksemia. Bila terjadi intestinal toksemia maka pada penderita dengan sirhosis hepatis merupakan bahaya. Pada kolon stasis dan adanya pemecahan urea oleh bakteri mungkin akan mempercepat timbulnya “ hepatik encepalopati” pada penderita sirhosis hepatis.

II.5. MANIFESTASI KLINIS
Penderita yang mengalami konstipasi biasanya merasa defekasinya menjadi sulit dan nyeri, tinja keras, mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi, defekasi hanya 3x atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang bisa timbul adalah perasaan kembung, kurang enak, dan malas.3,4,5,9,10
Penderita dapat juga tanpa keluhan sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi, “rectal bleeding” (perdarahan rektum), diare “spurious” (sedikit-sedikit), dan nyeri pinggang bagian bawah (LBP).11
Penderita biasanya mengeluh beberapa hari tak dapat defekasi dan kalau defekasi selalu susah. Tinja yang keluar keras dan kehitam-hitaman. Perut selalu dirasa penuh serta dirasa mendesak keatas, kembung, berbunyi,mual-mual. Rasa mulas di perut kiri pada daerah sigmoid dan kolon desendens. Keluhan lain yang sering dirasakan ialah mulut rasa pahit, lidah kering, kepala pusing, nafsu makan menurun. Bilamana konstipasi berlangsung lama, maka keluhan tersebut diatas makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal.13

II.6. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk mencari penyebab konstipasi. Dengan menanyakan tipe dan derajat gangguan konstipasi dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang keras.4,5,9,10
Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan, perdarahan saluran cerna, riwayat keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya.6
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipasi yaitu : (1) konstipasi pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau (4) obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya : opioid, antikholinergik).4,5,9,10
Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus) dan ingat bahwa penderita mungkin mengalami perforasi usus setelah dilakukan klisma dengan air hangat di rumah. Keluhan berikut juga dapat dipakai sebagai dugaan bahwa penderita mengalami kesulitan defekasi : perasaan kurang puas setelah defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, “tenesmus”, dan retensi pada saat dikerjakan klisma.4,5,9,10
Uraian yang tepat tentang gejala dan lama terjadinya harus didapat. Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak awal usia kanak-kanak cenderung bersifat kongenital, sementara awitan yang terjadi kemudian menunjukkan penyakit yang di dapat. Penjelasan mengenai frekuensi dan sifat defekasi harus dinyatakan, termasuk keluhan mengejan yang berlebihan saat defekasi, adanya skibala yang keras, atau perasaan pengeluaran kotoran yang tidak tuntas. Pasien harus ditanya mengenai nyeri abdomen dan kembung yang terkait dan gejala-gejala saluran kemih atau saluran makanan bagian atas. Pertanyaan ini penting untuk mendapatkan riwayat pemakaian laksatif dan lamanya.8

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan local, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur.
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit nongastrointestinal yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi autonom. Abdomen harus diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya, distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan anorektal harus dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot gluteus, prolapsus rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction. Pasien dapat diminta untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel, atau prolapsus rekti dapat terlihat. Adanya “ kedipan anus “ harus dinilai dengan menunjukkan kontraksi refleks kanalis ani setelah rasa ditusuk peniti pada perineum.8
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada kejadian berikut ini : 5,9,10
Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen. 
Lesi anorectal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi (misalnya : fisura ani, fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis) 
Intususepsi yang tampak pada saat mengejan. 
Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan kelainan berikut ini :4,5,9,10
Masa anorektal. 
Tonus sfingter ani internal. 
Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis. 
Adanya “gross blood” atau “occult bleeding” dengan memeriksa tes guaiak tinja. 
Jumlah dan konsistensi tinja : pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah “rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. “Pelvis floor dysfunction” (disfungsi dasar panggul) dapat memberi gejala khas berupa kegagalan memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu dilakukan pemeriksaan colok dubur. 
Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi anus. 
Lumen dari rektumbiasanya membesar dan biasanya teraba “ faecal mass”. Jadi bila dijumpai dilatasi dari rektum dengan proktostasis dan adanya gangguan pengosongan rektum ialah tanda patognomonis dan dyschezia

3. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum (“gross” atau “occult”). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid.4,9,10

4. Pemeriksaan radiology
Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat menunjukkan jumlah tinja dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : “fecal impaction”, obstruksi usus, dan “fecalith” dapat dibuat. Diagnosis adanya “fecalith” penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi “stercoral ulcers”, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada foto polos abdomen.9
Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat hipotiroid.9

5. Pemeriksaan lain-lain
Rektosigmoidoskopi
Perlu dikerjakan dan diperhatikan membran mukosa, untuk memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa sigmoid mengalami dilatasi, sehingga instrument dapat dengan mudah masuk ke sigmoid.
Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 – 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya.4,5,10
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (“colonic transit study”, “defecography”, “manometry”, “electromyography”).4,5,6,9,10
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik. 
Tidak adanya haustra pada endoskopi atau barium enema menunjukkan “kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi segmen kolon yang proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron.8

Beberapa prosedur yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis: 
Anoscopy/Proctoscopy: pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal.4,10

Digital disimpaction (disimpaksi dengan jari): dengan menggunakan sarung tangan yang telah di lubrikasi, tinja yang telah menekan daerah anorektal bawah selama beberapa lama dapat dilepaskan.4,10
Klisma dengan air hangat : biasanya kurang popular, mungkin belum perlu dikerjakan pada penangan awal.4,10

II.7. PENGOBATAN
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang peristaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus. 
Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah :
1.Harus dicari sebab-sebabnya.
2.Memberi pendidikan atau pengertian kepada penderita, agar dapat melakukan defekasi secara alamiah.
3.Menghentikan kebiasaan pemakaian laksatif dan enema.
4.Mengembalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa obat-obatan
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari penyebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya secara teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
Perhatian terhadap pengobatan yang spesifik seyogyanya lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan ahli bedah sebaiknya segera dikerjakan bila ada dugaan obstruksi intestinal atau volvulus (Holson 2001).Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien dan harapan pasien. 
1.PERUBAHAN GAYA HIDUP 
a. Diet
Makanan berserat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut, merupakan bagian dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Makanan berserat yang mudah larut akan cepat melarut dalam air dan membentuk bahan “gel” dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut, akan melewati usus tanpa mengalami perubahan Bahan serat yang berbentuk besar (“bulk”) dan lunak ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras dan kering yang lebih sulit melewati usus.4,5,9,10
Rata-rata orang Amerika makan 5 – 20 gram makanan berserat setiap harinya, lebih sedikit dibanding jumlah 20 – 35 gram yang dianjurkan oleh “the American Dietetic Association”. Baik anak-anak maupun orang dewasa makan terlalu banyak makanan yang sudah dibersihkan dan diproses, di mana serat alamiahnya sudah dibuang. 
Terapi inisial biasanya berupa diet dengan penekanan pada peningkatan asupan serat makanan. Banyak pasien dengan konstipasi memperlihatkan responnya terhadap peningkatan asupan serat makanan hingga mencapaijumlah antara 20-30 gram/hari. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit gastrointestinal. 
Efek serat yang menghasilkan massa dalam kotoran dapat berhubungan dengan peningkatan retensi air maupun dengan proliferasi bakteri kolon yang memproduksi gas di dalam tinja. 
Suplementasi serat bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi obstruktif traktus gastrointestinal atau bagi pasien penyakit megakolon atau megarektum.8
Dianjurkan makanan yang banyak mengandung sayur-sayuran, buah-buahan, yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna, sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi.13
b. Banyak minum dan olah raga 
Cairan seperti air dan jus, menambah jumlah air yang masuk ke dalam kolon dan memperbesar bentuk tinja, dan membuat gerakan usus menjadi lebih per-lahan-lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi, seyogyanya minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. (suyono)Cairan lain seperti kopi dan “soft drinks”, yang mengandung kafein, tampaknya mempunyai efek dehidrasi.4,5,10
Kurang olah raga dapat menimbulkan konstipasi, tanpa diketahui penyebab sebenarnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita setelah mengalami kecelakaan atau pada saat penderita diharuskan tirah baring dalam waktu yang lama karena penyakitnya.4,10 
2.PEMBERIAN OBAT 
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang periltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.4,5,9,10
a. Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama akibat usus yang malas. Pada anak-anak, pengobatan laksans jangka pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur, juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, bubuk. Ada beberapa macam cara kerjanya.4,5,10
b.Bulk forming agents / hydrophilic
Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang terjadinya perilstatik. Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga dikenal dengan nama “fiber supplements”, dan harus diminum dengan air. Dalam usus bahan ini akan menyerap air, dan membuat tinja menjadi lebih lunak. Beberapa contoh : 4,5,10
Psyllium (Metamucil, Fiberall)
Methylcellulose (Citrucel) 
Ispaghula (Mucofalk) 
Dietary brand 

c.Emollients / softeners / sufactant / wetting agents 
Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran bahan cairan dan lemak, sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak tinja (“stool softeners”) dapat melembabkan tinja, dan menghambat terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita setelah melahirkan atau pasca bedah Beberapa contoh :4,5,10
Docusate (Colace, Surfak) 
Mineral oil
Polaxalko

d.Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant 
“Emollient stool softeners” menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur (“rhythmic”). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenolftalen, yang dikandung dalam beberapa laksans stimulans, ternyata dapat meningkatkan resiko kanker. FDA telah melakukan pelarangan penjualan bebas produk yang mengandung bahan fenolftalen ini. Sebagian besar produsen laksans saat ini telah mulai mengganti fenolftalen dengan bahan yang lebih aman. Beberapa contoh : 4,5,10
Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto C, Silace-C) 
Bisacodyl (Dulcolax) 
Brand names include Correctol®, Senna®, Purge®, Feen-A-Mint®, and Senokot®. 

e.Osmotic laxatives 
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini mempunyai kemampuan seperi “spons”, menarik air ke dalam kolon, sehingga tinja mudah melewati usus. 4,5,10
Hyperosmolar laxatives : 
Polyethylene glycol solution (Miralax) 
Lactulose (Cephulac, Cholac, Constilac, Duphalac, Lactulax) 
Sorbitol 
Glycerine 
Saline laxatives :
Magnesium sulfate 
Magnesium hydroxide (Phillips' Milk of Magnesia) 
Sodium phosphate (Fleet enema) 
Magnesium phosphate 
Penderita yang sudah tergantung pada pemakaian laksans ini, sebaiknya dianjurkan untuk menghentikan obat ini secara perlahan-lahan. Pada sebagian besar penderita, biasanya kemampuan untuk kontraksi kolon dapat dipulihkan kembali secara alamiah, dengan memperbaiki penyebab konstipasi tersebut.4,5

3.PENGOBATAN LAIN
Pengobatan spesifik terhadap terhadap penyebab konstipasi, juga dapat dikerjakan tergantung apakah penyebabnya dapat dikoreksi atau tidak. Sebagai contoh, penghentian obat yang menimbulkan konstipasi, atau tindakan bedah untuk mengoreksi ada tidaknya kelainan anorektal, seperti prolapsus rekti. 4,5,10
a.Prokinetik 
Obat-obat prokinetik telah dicoba untuk pengobatan konstipasi, tetapi belum banyak publikasi yang menunjukkan efektivitasnya. Obat prokinetik (seperti : cisapride dan metoclopramide) merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Cisapride telah dilaporkan dapat memperbaiki keluhan penyakit refluks gastroesofagus, namun pada konstipasi belum banyak laporan yang ditulis.
Tegaserod, merupakan agonis parsial 5-HT4, dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Dalam uji klinik fase III, tegaserod 12 mg/hari, menghasilkan peningkatan kelompok “Irritabel bowel syndrome” tipe konstipasi yang mencapai tujuan utama “hilangnya keluhan “ penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung.10
b.Analog prostaglandin
Analog prostaglandin (misoprostil) dapat meningkatkan produksi PGE2 dan merangsang motilitas saluran cerna bagian bawah.10

c.Klisma dan supositoria
Bahan tertentu dapat dimasukkan ke dalam anus untuk merangsang kontraksi dengan cara menimbulkan distensi atau lewat pengaruh efek kimia, untuk melunakkan tinja. Kerusakan mukosa rektum yang berat dapat terjadi akibat ekstravasasi larutan klisma ke dalam lapisan submukosa. Beberapa cara yang dapat dipakai : 4,10
- Klisma dengan PZ atau air biasa
- Na-fosfat hipertonik
- Gliserin supositori
- Bisacodyl supositori
d.Biofeedback
Penderita dengan konstipasi kronik akibat disfungsi anorektal dapat dicoba dengan pengobatan “biofeedback” untuk mengembalikan otot yang mengendalikan gerakan usus. “Biofeedback” menggunakan sensor untuk memonitor aktivitas otot yang pada saat yang sama dapat dilihat di layar komputer sehingga fungsi tubuh dapat diikuti dengan lebih akurat. Seorang ahli kesehatan yang professional, dapat menggunakan alat ini untuk menolong penderita mempelajari bagaimana cara menggunakan otot tersebut. 4,10
Dalam penelitian Houghton dan kawan-kawan (2002) ditemukan bahwa emosi dapat mempengaruhi persepsi dan distensi rektal pada penderita IBS. Juga dapat ditunjukkan bahwa pikiran mempunyai peranan yang sangat penting dalam modulasi faal saluran cerna. 11
e.Operasi 
Tindakan bedah (subtotal colectomy dengan ileo-ractal anastomosis) hanya dicadangkan pada penderita dengan keluhan yang berat akibat kolon yang tidak berfungsi sama sekali (“colonic inertia”). Namun tindakan ini harus dipertimbangkan sungguh-sungguh, karena komplikasinya cukup banyak seperti : nyeri perut dan diare. 4,10


II.8. PANTAUAN PENDERITA

1.Untuk penderita rawat inap : 
Penderita rawat inap dengan konstipasi yang perlu mendapat perhatian khusus, karena mungkin perlu evaluasi ahli bedah adalah : 4,10 
Adanya tanda-tanda obstruktif 
“Nonrectal impactions” 
Demam dan dehidrasi. 

2. Penderita rawat jalan
Pengawasan penderita rawat jalan harus mengikut sertakan dokter keluarga penderita untuk memastikan pengawasan yang lebih baik. Konsultasi ke Gastroenterologis dianjurkan pada penderita dengan keluhan : 4,10
Konstipasi yang relatif baru. 
Konstipasi kronik dengan penurunan berat badan, anemia, atau perubahan konsistensi tinja. 
Konstipasi yang refrakter. 
Konstipasi yang membutuhkan pemakaian laksans yang terus menerus. 

3. Obat-obat yang dianjurkan 4,10
Bulk-forming agent: Psyllium (eg, Metamucil) dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan konsistensi tinja. 
Emollient: Docusate sodium (eg, Colace) memperbaiki gerakan usus. 
Klisma dengan air hangat : dapat mempercepat perbaikan keluhan penderita dan dapat mengatur gerakan usus selanjutnya. 

4. Pencegahan 4,10
Minum yang cukup (misalnya, 8 gelas air sehari) 
Olah raga teratur. 
Diet tinggi serat 
Hindari atau kurangi obat-obat yang menimbulkan konstipasi 
Defekasi yang teratur, usahakan pada jam yang sama setiap harinya, dapat mengurangi keluhan, terutama setelah makan di mana refleks “gastrocolic” menunjukkan kerja paling kuat. 

5. Komplikasi 4,10
Fisura ani 
“Fecal impaction” 
Obstruksi usus 
“Fecal incontinence” 
Ulserasi stercoral 
Megakolon 
Volvulus 
Pprolaps rektum 
Retensi urin 
“Syncope” 

6. Prognosis 4,10
Sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik dengan pemberian obat. 
Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi masalah, juga yang “debilated” (cacat). 

DAFTAR PUSTAKA




1.Colonic Obstruction, http://www.emedicine.com/med/topic415.htm 

2.Ahmadsyah I, et al, 1997 : Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed Sjamsuhidajat R, EGC, Jakarta, hal 240-254.


3.Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al, 1997: How do older persons define constipation? Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med 12(1): 63-66 

4.Lennard-Jones JE, 1998: Constipation. In Sleisenger and Fordtrans’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology / Diagnosis / management. Vol 1, 6th Ed, Ed by M Feldman et al, WB Saunders Co, Philadelphia – Toronto, p 174-197 


5.Wald A, 1995: Approach to the patient with constipation. In Textbook of Gastroenterology, vol 1, 2nd ed, Ed by T Yamada et al, JB Lippincott Co, Philadelphia, p 864-880 

6.Hadi S, 2001: Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta, 712-716.


7.Ulshen M, 2000: Sistem Saluran Pencernaan, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Ed Wahab S, Edisi 15, Volume 2, EGC, Jakarta, hal 1271-1278

8.Friedman LS, Isselbacher KJ: Diare dan Konstipasi, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, vol 1, edisi ke-13, editor Asdie AH, EGC, Indonesia, hal 247-157.

9.Koch TR, 1995: Constipation. In Bockus Gastroenterology, vol 1, 5th ed, Ed by WS Haubrich et al, WB Saunders Co, Philadelphia – Tokyo, p 102-112 



10.Ramkumar DP and Rao SSC, 2001: Functional anorectal disorders. In Evidence-Based Gastroenterology, Ed by EJ Irvine and RH Hunt, BC Decker Inc, Hamilton – London, p 207-222 

11.Constipation, http://www.pgh.or.id/RSDS03-P.html

12.Constipation, http://crpresentations.medicalillustration, 

13.Hadi S, 1981: Keluhan-keluhan Yang Sering Pada Gastroenterologi, Gastroenterologi, Penerbit Alumni, Bandung,

Tidak ada komentar: