Posts filed under 'PSIKOLOGI BAYI DAN ANAK'
Berkomunikasi dengan Anak, Sulitkah?
Sumber : Kompas l Minggu, 2 Maret 2008 | 17:55 WIB
Oleh : Sawitri Supardi Sadarjoen
KEBANYAKAN orangtua berpendapat, kalau anaknya pendiam atau sibuk bermain sendiri, berarti anaknya manis, penurut, mandiri, dan tidak perlu mendapat perhatian khusus.
Sementara kebanyakan orangtua yang disibukkan oleh anak yang sangat rewel, sering memberi sebutan anak itu nakal, banyak maunya, dan tidak menurut.
Terhadap anak yang pendiam, mandiri, dan selalu menyiapkan keperluan sekolah sendiri, orangtua merasa segala hal sudah tercukupkan karena anak tersebut memang pada dasarnya anak manis yang penurut dan tahu akan kewajibannya.
Namun, dapat terjadi orangtua dikejutkan perilaku anak yang semula manis, penurut, dan tahu kewajiban tersebut tiba-tiba mogok sekolah, tidak kooperatif, serta menunjukkan sikap melawan orangtua. Apa pun yang disarankan orangtua seolah mental dan tidak berpengaruh. Anak jadi mengurung diri dan baru keluar kamar bila lapar atau perlu ke kamar mandi.
Orangtua menjadi bingung. Anak dimarahi dan dibentak dengan ungkapan, “Ngomong dong, ada apa, kenapa enggak mau sekolah!” Bahkan dipukul sekalipun anak bergeming, malahan bisa mengatakan, “Bunuh saja saya sekalian.” Walaupun, setelah beberapa saat anak akhirnya mau membuka mulut, menceritakan sepintas kenapa dia mogok sekolah.
(lagi…)
Add comment Nopember 22, 2008
Membentuk Anak Mandiri
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri. Kemandirian fisik adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Sedang kemandirian psikologis adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah sendiri.
Ketidakmandirian fisik bisa berakibat pada ketidakmandirian psikologis. Anak yang selalu dibantu akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, ia akan mengharapkan bantuan orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan memecahkan masalahnya.
Menurut Dra. Mayke Sugianto Tedjasaputra, M.Si., dosen Psikologi Perkembangan Universitas Indonesia Jakarta, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak :
1. Faktor bawaan.
Ada anak yang berpembawaan mandiri, ada yang memang suka dan menikmati jika dibantu orang lain
2. Pola asuh.
Bisa saja anak berpembawaan mandiri menjadi tidak mandiri karena sikap orang tua yang selalu membantu dan melayani.
3. Kondisi fisik anak.
Anak yang kurang cerdas atau memiliki penyakit bawaan, bisa saja diperlakukan lebih “istimewa” ketimbang saudara-saudaranya sehingga malah menjadikan anak tidak mandiri.
4. Urutan kelahiran.
Anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi, dibantu, apalagi orang tua belum cukup berpengalaman. Anak bungsu cenderung dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari kakaknya.
Untuk mengajarkan anak menjadi mandiri, sangat penting bagi orang tua untuk tidak memberikan bantuan dan perlindungan yang berlebihan kepada anak. Menurut Dra. Tjut Rifameutia Ali-Napis, M.A, dosen Psikologi Pendidikan dari Universitas Indonesia, bantuan berlebihan bisa mensugesti anak bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu sendiri.
Ada dua alasan yang menyebabkan orang tua cenderung memberikan bantuan dan perlindungan berlebihan. Yang pertama karena khawatir. Padahal, orang tua yang terlalu khawatir akan membatasi anak untuk mencoba kemampuannya.
Bila perlindungan berlebihan berlanjut terus sejalan dengan bertambahnya usia anak, maka anak akan selalu mengharapkan bantuan orang lain setiap kali ia menghadapi masalah.
Alasan kedua, karena orang tua tidak sabar. Ketimbang menunggu anak berusaha memakai sepatunya sendiri, orang tua cenderung lekas membantu agar cepat selesai. Akibatnya, anak tidak memperoleh kesempatan untuk mencoba.
Belajar mandiri memerlukan bantuan dan bimbingan orang tua. Hasilnya akan nampak bila orang tua rajin dan konsisten memberikan stimulus. Kemandirian hanya bisa dicapai melalui suatu tahapan yang sesuai dengan perkembangan usia anak. Misalnya, anak usia 6 tahun tidak bisa begitu saja dapat makan sendiri bila tidak pernah diberi kesempatan memegang sendok sejak usia 18 bulan.
Oleh karena itu, latihan kemandirian mesti dimulai sejak dini sesuai dengan usianya. Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan sekolah untuk menempa anak menjadi mandiri, karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang di sekolah.
Untuk dapat mengukur kemandirian anak, maka diperlukan pengetahuan mengenai kemampuan apa saja yang bisa diajarkan padanya. Bila kemampuan-kemampuan itu belum dikuasai pada usia yang seharusnya, maka si anak bisa dikategorikan tidak mandiri. Anak usia SD masih disuapi dan dimandikan, misalnya, bisa disebut sebagai anak yang tidak mandiri.
PENILAIAN TINGKAT KEMANDIRIAN SESUAI USIA DAN STIMULUS YANG PERLU DIBERIKAN
Diperlukan ketekunan dan kesabaran orang tua untuk melatih anak menjadi mandiri sesuai usianya. Perlu diingat, keberhasilan yang dicapai anak pada tiap tahapan usia akan berbeda-beda, sesuai stimulus yang diberikan kepadanya.
BAYI
Menurut Dra. Michiko Mamesah, M.Psi dari Universitas Negeri Jakarta, sejak usia 4 bulan bayi sudah bisa diajar beraktivitas menggunakan tangan sebagai dasar keterampilan membantu diri.
1. Meraih dan memasukkan makanan (mulai usia 6 bulan)
Stimulus : letakkan biskuit di piring atau acungkan ke depan bayi. Usahakan terlihat oleh bayi sehingga ia akan berusaha meraihnya.
2. Memegang gelas dan meminum isinya (mulai usia 9 bulan)
Stimulus : sediakan cangkir bergagang dari plastik atau melamin. Isi dengan sedikit air dan biarkan bayi meraih sendiri dan meminum isinya. Biarkan bila ada yang tumpah atau berceceran di baju. Melalui dua aktivitas ini, bayi akan belajar bahwa ia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, yaitu makan dan minum tanpa bantuan orang lain.
3. Merentangkan tangan dan kaki saat mengenakan pakaian (mulai usia 10 – 11 bulan)
Stimulus : katakan,” Adek, Mama pakaikan baju ya.. Ayo angkat tangannya..”. Ulanglah kalimat tersebut sampai anak mau mengikutinya. Bayi akan belajar bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk memudahkan kita saat membantunya berpakaian.
4. Melepas topi dan kaus kaki (mulai usia 11 - 12 bulan)
Ini adalah dasar kemampuan anak untuk melepas pakaian.
Stimulus : berikan contoh bagaimana cara melepas topi atau kaus kaki. Coba untuk memasangkan topi atau kaus kakinya lagi. Umumnya anak akan mencoba melepaskan karena rasa ingin tahu yang besar. Lakukan berulang-ulang agar anak mendapat banyak kesempatan untuk mencoba.
5. Melakukan dua tugas sekaligus (mulai usia 12 bulan)
Stimulus : berikan biskuit, biarkan ia meraih dengan salah satu tangan. Lalu berikan mainan, biarkan ia meraih dengan tangan yang masih kosong. Bila ia memasukkan mainan, beri tahu ia bahwa mainan tidak boleh dimasukkan ke mulut, sedangkan biskuit boleh. Kemampuan seperti ini akan menjadi dasar yang membuat anak bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus.
ANAK USIA 1 – 3 TAHUN
Menurut Dra. Michiko Mamesah, M.Psi dari Universitas Negeri Jakarta, anak usia di atas satu tahun sudah memiliki lebih banyak kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Berbagai kemampuan motorik dan interaksi dengan lingkungan juga sudah lebih berkembang.
1. Minum dari gelas tanpa bantuan (mulai usia 15 bulan)
Stimulus : berikan gelas platik berisi air yang tidak terlalu penuh. Minta anak memegang sendiri dengan tangannya. Biarkan ia melakukannya sambil berdiri atau berjalan. Ganti jenis gelas (gelas bergagang dan tidak bergagang) untuk melatih motorik halusnya.
2. Memakai sendok untuk makan (mulai usia 18 bulan)
Stimulus : berikan sendok dan piring berisi makanan porsi kecil dan biarkan anak mencoba menyuap sendiri makanannya. Maklumi bila makanan masih tumpah dan berhamburan.
3. Membuka sepatu, celana dan baju sendiri (mulai usia 2 tahun) serta ristleting (mulai 3 tahun)
Stimulus : awali dengan melatih anak membuka sepatu tak bertali atau kaus singlet yang mudah dilepas. Tunjukkan cara menarik sepatu dari telapak kaki atau menarik kaus ke atas kepala. Ulangi contoh bila anak masih mengalami kesulitan. Bila anak sudah mahir, tingkatkan dengan baju berkancing. Ajari cara membuka dan menutup ristleting dengan hati-hati. Bila anak masih ragu, tunggu sampai ia bisa melakukan dengan benar sehingga terhindar dari trauma akibat terjepit ristleting.
4. Meraih gelas di atas meja dan meneguk minuman (mulai usia 2 tahun)
Stimulus : letakkan gelas berisi minuman dalam jangkauan anak, sehingga ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri saat ia merasa haus. Bila sudah mahir, tingkatkan dengan memberinya contoh cara menuang air dari teko atau memencet tombol dispenser. Pada tahap ini, orang tua perlu berhati-hati ketika meletakkan minuman panas di atas meja dan disarankan mematikan tombol air panas pada dispenser.
5. Membuka pintu (mulai usia 2 – 2.5 tahun)
Stimulus : umumnya anak lebih mudah belajar dengan pengangan pintu bertangkai ketimbang bulat. Setiap anak akan keluar kamar, berikan contoh bagaimana cara memutar dan menarik gagang pintu, sambil dijelaskan dengan kata-kata sederhana. Letakkan tangan anak pada pegangan pintu dan bantu ia memutar ke arah yang benar.
6. Mengatakan ingin buang air (mulai usia 2 – 2.5 tahun)
Stimulus : cermati kebiasaan anak sebelum BAK dan BAB. Bila Anda melihat dorongan ingin BAK atau BAB, tanyakan kepadanya. Dorong ia untuk mengungkapkan kenginan tersebut. Ajak ia ke kamar mandi, dan jelaskan bahwa BAK dan BAB hanya dilakukan di kamar mandi meskipun si kecil belum bisa melakukannya sendiri.
Pada tahapan usia ini, sangat penting bagi orang tua untuk tidak memberikan bantuan dan perlindungan yang berlebihan. Ketika anak berusia 1.5 tahun, ia akan mulai menjelajah, menantang dirinya sendiri melakukan sesuatu yang sulit seperti menaiki tangga atau memasuki lorong sempit. Tidak seperti tahapan usia sebelumnya, dimana apapun yang dilakukan anak ditentukan oleh orang tua atau pengasuh, pada usia ini anak mulai memiliki kemauan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Bila ia ternyata bisa melakukannya, akan timbul rasa memiliki kemampuan. Apalagi bila saat itu orang tua memberinya pujian, ia akan merasa bangga dan makin terpacu untuk menunjukkan kemampuannya. Inilah modal bagi anak untuk mengembangkan kemandirian dan kepercayaan dirinya.
Dirangkum dari berbagai sumber, dengan www.tabloid-nakita.com sebagai sumber utama
Add comment September 6, 2008
Kisah Duka Anak-anak Jenius (2)
Oleh Julia Maria van Tiel
ANAK-anak jenius pada masa kecilnya terbanyak memang under-prestasi, maka ia disebut gifted with learning disabilities. Mereka memiliki kemampuan yang tak seimbang, antara kemampuan lisan dan aktivitas. Anak-anak yang sudah baik kemampuan berbicaranya, akan lebih baik dalam uji lisan daripada menulis. Dalam uji kemampuan IQ, pada anak-anak jenius yang mempunyai keterlambatan perkembangan bicara, uji kemampuan verbalnya menunjukkan skor yang sangat rendah, sedang skor performalnya tinggi, dan skor kreativitas rendah.
Gambaran seperti ini persis sama dengan gambaran IQ anak-anak autis. Namun skor kreativitas rendah bukan disebabkan ia tidak kreatif, tetapi lebih disebabkan karena ia menderita tidak percaya diri sebagai akibat dari frustrasi terhadap hasil karya dan perfeksionismenya. Di Belanda untuk anak-anak seperti ini, dilakukan suatu uji yang disebut faalangst test, dari sini terlihat bahwa ia menderita faalangst atau ketidakpercayaan diri dan takut berbuat salah.
Pada anak-anak jenius yang sebetulnya sangat jenius yang kemudian disebut profound gifted, justru sering kali terdiagnosa sebagai autis yang terbelakang mental. Mereka menderita disleksia sangat berat, mengalami keterlambatan bicara sangat tertinggal, dan baru mulai belajar bicara di usianya yang keenam atau ke tujuh, bahkan ke delapan. Ada yang sangat terlambat dalam perkembangan motorik kasarnya, dan mulai berjalan pada usia 4 tahun.
Ia bagai benar-benar anak terbelakang mental yang hidup dalam dunianya sendiri dan sangat tergantung pada orang di sekitarnya. Satu-satunya yang menunjukkan ia bukan mental retarded dan bukan autis adalah ia mampu membangun hubungan emosi dan cinta kasih dengan orangtuanya atau orang lain, dan mampu berbahasa isyarat.
***
Boleh dikata pengetahuan gejala balita jenius yang di Belanda populer dengan sebutan hoogbegaafde kinderen nyaris menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat.
Mailing list, website, dan majalah yang merupakan kontak komunikasi antara orang tua dan tenaga profesional banyak dikembangkan oleh masyarakat. Sehari-hari banyak tenaga sosial yang berlatar belakang psikolog dan ortopedagog yang secara sukarela membantu keluarga-keluarga yang terbingung-bingung menghadapi anaknya.
Sekolah khusus yang didirikan lembaga-lembaga swasta yang ditujukan untuk anak-anak jenius ini juga banyak berdiri di hampir di tiap kota. Namun, pemerintah tetap memanfaatkan openbaar basis onderwijs-nya (sekolah dasar) yang dimulai secara wajib di usia empat tahun. Sekolah dasar ini dilengkapi dengan guru yang mendapat brevet khusus untuk pendidikan anak jenius, serta dilengkapi juga dengan materi dan program pendidikan anak jenius. Dalam sekolah-sekolah umum ini anak-anak jenius disosialisasikan secara maksimal bersama anak-anak normal seusia lainnya, dengan tujuan ia mampu membangun dirinya sebagaimana anggota masyarakat normal.
Anak-anak jenius yang telah selesai masa pendidikan sekolah dasarnya bisa melanjutkan ke sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, yaitu atenium.
Meski gejala balita jenius telah dikenal secara luas, namun banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anak mereka penyandang gen jenius. Setelah timbul berbagai masalah, barulah anak-anak ini betul-betul mendapat perhatian.
Semakin populernya DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) tahun 1994 dari American Psychiatric Association anak-anak berbakat ini terjaring dalam berbagai diagnosa gangguan mental dan mendapat terapi sebagaimana diagnosa itu. DSM IV yang dikeluarkan tahun 1994 itu, pada tahun 1998 barulah mulai dipopulerkan di Belanda. Dalam dua tahun saja terjaringlah sebanyak 65.000 (20 persen) anak usia di bawah 10 tahun dinyatakan sebagai ADHD, yang ternyata memang sebagian besar bukan penderita ADHD. Karena itu, awal tahun ini Pemerintah Belanda menyetop penetapan diagnosa yang begitu dini dapat dijatuhkan pada seorang anak. Setelah melalui pengamatan yang panjang berbulan-bulan yang dibantu oleh orangtua, guru, psikolog, dan petugas sosial, serta berbagai tes, barulah diagnosa itu ditegakkan.
Karena masih terjadi salah diagnosa semacam itu, untuk mencegahnya, kini kepada seluruh balita Belanda telah digunakan status yang disebut status van Wiechen ontwikkeling onderzoek. Dengan menggunakan status ini segera dapat diketahui apakah seorang anak mempunyai perkembangan yang tertinggal atau justru lebih cepat (mengalami loncatan perkembangan).
Pada dasarnya, perkembangan dan pertumbuhan balita berbakat ini mengikuti norma yang skalanya besar, waktunya singkat, sayangnya tidak sinkron. Tampak setiap perkembangannya bergelombang dengan skala yang besar, meledak-ledak, tetapi jangka waktunya tidak lama (tidak melebihi dua bulan), namun berkembang satu-persatu yang kemudian menjadikan tampak tidak harmonis dengan berbagai perkembangan yang seharusnya ada di masa balita.
Gejalanya bisa diikuti sejak bayi itu dilahirkan, yaitu merupakan bayi yang sehat, berat dan mempunyai APGAR skor antara 9-10 pada menit-menit pertama. Ia mempunyai pertumbuhan berat badan yang sangat pesat di bulan-bulan awal, tetapi tiba-tiba berkembang secara tenang saat ia mulai banyak gerak. Mempunyai perkembangan motorik yang hebat luar biasa, terkadang tidak melalui masa merangkak, atau masa berjalan, terus berlari. Mampu manjat-manjat, menarik barang berat, dan sangat kuat. Mempunyai otot-otot yang sangat kencang. Gerakannya cepat dan kuat. Mempunyai kemampuan spatial yang baik, berlari cepat dan mengelak dengan sigap jika akan menabrak sesuatu benda. Periang, mempunyai rasa humor yang tinggi dan senang meledek dan bercanda-canda.
Perkembangan bahasa dan kemampuan bicaranya sangat cepat dengan perbendaharaan kata yang luas, atau justru sangat terlambat bicara. Mengalami gangguan konsentrasi, berupa mudah terangsang pada bunyi-bunyian dan gerakan, mempunyai perhatian cepat berpindah-pindah, kekacauan konsentrasi, namun mampu mengonsentrasikan diri secara intens pada hal yang menjadi perhatiannya. Sering memperhatikan benda bergerak seperti roda, air mengalir, dan gerakan berulang membuka tutup pintu, menyalakan dan mematikan lampu, memainkan mobilan maju mundur ke atas dan bawah, mengucurkan air, memutar-mutar pentil radio serta televisi, dan sebagainya.
Di usianya yang sangat dini, tiga tahun, sering terjadi loncatan perkembangan dimensi, ia mampu menggambar wajah orang terdekatnya, biasanya ayahnya. Menggambar berbagai figur hidup, manusia, binatang, lingkungan, dan alam raya. Mampu menyusun alat mainan Lego menjadi jembatan dan bentuk-bentuk tiga dimensi. Menyukai angka dan bilangan, mengenal dan mengingat berbagai macam logo-logo iklan, dan darinya ia mampu mengembangkan kemampuan membaca dan menulis.
Keras kepala, perfeksionis, sering terfiksasi pada satu perhatian, tidak tahan rutinitas, mempunyai perkembangan rasa takut yang hebat, sangat emosional mudah berubah temperamen, spontan, sangat sosial, mudah frustrasi, dan pemain sandiwara yang ulung.
* Julia Maria van Tiel, Doktor Medical Anthropology, mantan dosen S3 UI dan Unair, orang tua anak berbakat http://www.kompas.com/index.htm
Add comment September 6, 2008
Kisah Duka Anak-anak Jenius (1)
Oleh Julia Maria van Tiel
BAGAIMANA bayangan Anda terhadap anak-anak jenius? Apakah Anda membayangkan bahwa anak-anak ini adalah anak penyandang gen perfek berotak encer, gemerlap, dan selalu mendapat medali?
Ternyata masa kecil mereka penuh dengan rasa sedih, duka, dan lara. Semuanya karena apa yang mereka hadirkan baik dari segi perilaku dan kemampuan meraih prestasi di sekolah justru jauh di bawah rata-rata anak normal. Mereka seringkali brutal, keras kepala, semaunya, sulit diatur, dan sering berkelahi. Prestasi di sekolah juga nol.
Sebagian besar anak-anak ini justru tidak survive, banyak dari mereka yang dilatar belakangi oleh ketidak harmonisan rumah tangga, dan tekanan dari pihak sekolah justru membuat mereka melarikan diri ke arah kenakalan remaja, depresi, stres, atau mengalami gangguan biologis karena masalah psikologis (psikosomatis).
Mengapa demikian? Itu semua karena anak-anak ini mempunyai karakter yang sangat khusus. Mereka merupakan kelompok anak tersendiri, yang lain dari anak lain.
Pada masa balita, dokter sering menuding mereka sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan. Baik dari perkembangan fisik, perkembangan psikologis, atau juga gangguan kemampuan bicara, komunikasi, dan sosial.
Waktu di kelas-kelas awal sekolah dasar mereka sering disangka mengalami gangguan perkembangan inteligensia, atau kurang cerdas. Bahkan sering tertuding sebagai pembuat onar di kelas, tidak punya konsentrasi, dan sulit diberi pelajaran, tidak mau membuat pekerjaan rumah, serta membangkang. Di kelas sering melamun, tidur di meja, dan lebih senang memainkan pinsilnya, daripada mengikuti pelajaran. Di kelas satu dan dua bahkan mereka sulit diajar membaca, menulis, bahkan berhitung sekalipun. Penampilan mereka tidak seperti anak jenius atau anak berbakat sebagaimana layaknya yang kita bayangkan. Mereka lebih macam anak urakan tapi dungu. Benarkah demikian?
YANG kita ingat, orang yang terbilang jenius adalah Einstein, Michelangello, Thomas Alfa Edison, Rembrant, van Gogh, Bach, dan sebagainya. Lalu jarang kita dengar lagi ada kelompok jenius yang kelasnya bagai mereka. Kemanakah mereka? Tidak pernah lahirkah? Sebenarnya banyak. Dua persen dari anak yang lahir, adalah kelompok jenius. Tetapi mereka hilang ditelan perkembangan kebudayaan yang lebih banyak peraturannya, pendidikan yang seragam, pemeriksaan anak balita yang lebih teliti, yang semuanya mengacu pada norma normal, sehingga mereka tampak sebagai anak tidak normal, bahkan terdiagnosa berbagai macam gangguan perkembangan.
Misalnya saja yang dijelaskan oleh kelompok psikolog ahli anak-anak berbakat Amerika dalam pertemuan tahunannya di Washington Agustus tahun lalu, yang menjelaskan bahwa akhir-akhir ini di Amerika terjadi banyak kesalahan diagnosa pada anak-anak maupun dewasa berbakat dan berbakat. Kesalahan ini bukan saja dilakukan oleh psikiater, dokter anak, tetapi juga oleh psikolog sendiri, maupun tenaga kesehatan lainnya. Tersering mereka terdiagnosa sebagai autis asperger, PDDNOS, Attention Deficit Hyperactivity Disoredr (ADHD), Oppotitional Defiant Disorder (OD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD), dan Mood Disoreder seperti Cyclothymic Disorder, Dysthymic Disorder, Depression, serta Bi-Polar Disoreder.
Kesalahan diagnosa ini umumnya karena mereka memiliki karakteristik perkembangan sosial dan emosional yang diasumsikan secara keliru oleh kelompok profesional.
Sementara itu anak-anak itu adalah anak-anak yang mempunyai risiko psikologik apabila dorongan atau motivasi internalnya yang kuat untuk mengembangkan intelektualnya terhalangi dan tidak tercapai. Risiko ini berupa jatuhnya mereka ke dalam masalah-masalah psikologis seperti depresi yang dalam, perilaku menarik diri, rendah diri yang hebat, atau sebaliknya menjadi anak yang sangat sulit diatur, selalu melawan, dan agresif.
Seorang yang ternyata dewasanya jenius namun kecilnya penuh duka lara adalah Alice Miller, yang tahun 1979 mulai menuliskan kisahnya dalam sebuah buku berjudul: Das Drama des begabten Kindes und die Suche nach dem wahren Selbst, Eine Um-und Fortschreibung (Kisah drama seorang anak jenius-dalam mencari jati dirinya).
Duka lara Alice Miller berawal dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita penyakit jiwa bawaan yang menurut para dokter akan terus diidapnya seumur hidup. Karena itu ia harus menjalankan berbagai terapi yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan itu.
Emosinya yang meledak-ledak segera diredam dengan berbagai tablet psikotropika. Dia juga pada akhirnya mengalami depresi yang berat, rasa malu, dan rendah diri, serta tak mampu lagi bergaul. Pada waktu ia bisa menyelesaikan sekolah psikologinya, ia menyadari bahwa diagnosa yang diterimanya keliru, sehingga ia sibuk melakukan rehabilitasi diri guna menyembuhkan luka dari berbagai terapi semasa kecilnya itu, yang ia rasakan sebagai penganiayaan psikologis.
Buku Alice Miller yang mengharukan, detail, dan memberi pengertian akan artinya bimbingan pada anak-anak jenius ini, laku keras, hingga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda saja sudah dicetak ulang pada tahun 2000 hingga yang ke 23 kalinya. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.
Duka lara akibat perkembangan khusus pada anak-anak jenius ini, tampak sejak ia dilahirkan. Ia merupakan bayi yang besar dengan ukuran kepala yang besar, sehingga kebanyakan anak-anak ini lahir bukan dengan cara normal tetapi ditarik dengan tang, vacum, atau melalui pembedahan. Sejak bayi ia mengalami alergi susu yang berat, yang menyebabkan kulitnya penuh eksim, serta alergi berbagai macam dan tidak spesifik. Selain alergi berbagai makanan dan sayuran, ia juga alergi Matahari, cuaca dingin, obat-obatan, plastik, logam, pakaian nilon, dan sebagainya. Alerginya bukan hanya di kulit, bisa berupa mencret dan sembelit, tidak bisa bersendawa, batuk pilek, radang telinga, radang mata, dan asma.
Dalam pemeriksaan darah laboratorium sering ditemukan anak-anak ini memiliki berbagai angka laboratorium yang berbeda dengan angka rata-rata anak normal. Terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tampak seolah mereka menderita kekurangan berbagai mineral dan vitamin dalam tubuhnya. Banyak di antara mereka yang mengalami gangguan penyerapan makanan, dan kekurangan enzym pencernaan. Mereka juga mempunyai masalah dalam pemilihan jenis makanan yang mereka suka.
Pada saat balita penciuman anak-anak ini belum bekerja baik untuk mencium enaknya bau makanan. Mereka sangat peka dalam penglihatan, dan mempunyai sifat yang sangat perfeksionis. Dalam memilih makanan anak-anak ini hanya memilih satu jenis makanan dengan satu warna yang bagus dan bentuk yang bagus. Karena itu sebagian anak-anak ini berbadan terlalu kurus dengan kepala dan jidat yang besar, atau berbadan besar. Meski hanya makan dengan jumlah yang sedikit dan hanya itu-itu saja, kecuali soal alergi, boleh dikata mereka anak yang tampak sangat sehat, tidak mudah jatuh sakit, dan bergerak terus tidak capai-capainya.
Anak-anak ini mempunyai kemauan internal yang sangat kuat, keras kepala, tetapi tidak tahan rutinitas. Dan usia SD kelas satu atau kelas dua, yang menonjol justru keras kepala dan motivasi internalnya yang besar. Dengan begitu mereka tidak tertarik mengikuti kegiatan belajar di sekolah yang melelahkan karena terlalu rutin. Melihat hal ini guru seringkali menuding mereka sebagai anak yang tidak cerdas. Terlebih anak ini tidak mau mengulang kebolehannya, dan tidak bisa disuruh menunjukkan kebolehannya.
Banyak di antara orangtua yang bercerita bahwa anaknya bisa membaca dan berhitung, tetapi jika diuji di sekolah si anak bungkam. Mereka adalah anak yang didaktif, bukan anak yang deduktif. Kemampuan pengembangan intelektualnya adalah atas dasar motivasi internalnya, dan tidak bisa diajari, atau tidak mau diajari.
Sifat perfeksionis menyebabkan mereka tidak mau mengerjakan tugas memberi warna pada figur-figur dengan potlot berwarna. Mereka merasa hasil pekerjaannya sangat jelek, tidak seindah contohnya yang dibuat oleh percetakan. Perkembangan motorik halus mereka juga mengalami keterlambatan sehingga mereka bagai tidak kuat memegang pinsil barang semenit pun. Jari-jari mereka cepat lelah, dan hasil latihan menulisnya sungguh sangat jelek. Mencong-mencong, tidak lurus, dan bergelombang. Melihat hasil ini semua, lagi-lagi sifat perfeksionis mereka menyebabkan mereka frustrasi.
Banyak di antara anak-anak ini juga mengalami disleksia, yaitu gangguan perkembangan syaraf dan bola mata. Seringkali anak-anak ini memerlukan koreksi karena matanya astigmatis. Disleksia menyebabkannya melihat huruf terbalik-balik, dia bingung mana yang p dan mana yang q, atau mana yang d dan mana yang b. Disleksianya menyebabkan ia tidak mengerti lagi harus menulis dari sebelah kiri atau kanan, akhirnya ia mengalami gangguan menulis, membaca, dan juga berhitung. Lengkaplah penderitaannya, jika ia dituntut bagai anak normal. Apalagi jika dijatuhi mempunyai vonis bahwa ia mempunyai kemampuan atau kecerdasan di bawah rata-rata. Dan lebih ironis lagi, jika setiap sore dia dituntut oleh orangtua untuk mengambil les menulis dan berhitung, serta di rumah dipaksa belajar setengah mati.
KOMPAS, >Minggu, 19 Agustus 2001
Add comment September 6, 2008
Perkembangan Emosi Bayi
Memahami Tahapan Perkembangan Sosial-Emosi Bayi
Meliana Simarmata
Setiap aspek dalam tahap perkembangan bayi kecil Anda pasti amat menarik untuk diperhatikan. Entah itu saat dia mulai bisa tersenyum, tertawa, merangkak, duduk, berdiri, berespon ketika diajak bicara, ataupun menunjukkan kemampuan lain yang sesuai dengan tahapan perkembangannya. Tentunya, Anda pun ingin menjadi ?saksi pertama? atas seluruh kebisaannya itu.
Walaupun setiap bayi memiliki keunikannya sendiri, namun pada umumnya, setiap bayi memiliki tahapan perkembangan emosi yang dapat diprediksi polanya. Berikut kami berikan panduannya untuk Anda.
0-3 bulan
Bayi yang berusia 0-3 bulan sudah mulai dapat beraksi terhadap pandangan dan suara. Untuk beberapa detik, bayi sudah mulai bisa melihat dan menatap Anda, bahkan memberikan respon jika diajak bicara atau tersenyum. Bayi mungil Anda mungkin seringkali menangis, namun biasanya bisa segera diatasi dengan memberinya rasa nyaman melalui pelukan, diberi makan, diganti popoknya, digendong ataupun diajak bicara. Selain itu mereka juga sudah mulai dapat mengenali orang-orang yang sering dilihat atau berada di dekatnya.
Karena pada 3 bulan pertama ini bayi sepenuhnya bergantung pada Anda, maka kebutuhannya untuk mengatasi perasaan negatif yang dialaminya, seperti stres, takut, frustrasi dan lain sebagainya juga sepenuhnya berada pada tangan Anda. Pada saat ini, yang terpenting baginya adalah merasakan bahwa orangtuanya selalu ada untuknya, setiap kali ia membutuhkan. Dengan begitu, kepercayaannya terhadap Anda pun mulai terbentuk. Rene Brummage, pakar perkembangan anak mengatakan, ?Lingkungan anak memegang peranan yang penting dalam membentuk kepribadiannya. Lingkungan yang penuh kasih sayang akan mendorongnya memiliki emosi yang stabil. Sebaliknya, lingkungan yang penuh dengan tekanan akan membuatnya tumbuh dalam ketakutan.?
3-6 bulan
Pada masa ini, bagian otak bayi yang membantunya mengatasi dan mengontrol emosi mulai tumbuh. Dia pun menikmati interaksi dengan orang lain dan menunjukkan minat yang sangat besar dalam melihat wajah orang lain. Para ahli meyakini, ekspresi dan aneka simbol yang ditunjukkan oleh wajah tak hanya dapat membantunya membangun hubungan dengan dunia tetapi juga dapat menolongnya membangun ikatan emosi yang kuat dengan orang-orang yang menyayanginya, terutama Anda orangtuanya. Dari setiap respon yang diberikan orang-orang dewasa di sekitarnya, ia belajar bahwa senyuman, tangisan, dan hal-hal lain yang dilakukannya dapat memberinya respon emosional balik.
Untuk membantu perkembangannya, cobalah untuk melakukan permainan kata atau mencoba membuat bunyi-bunyian bersama. Kemudian doronglah dia untuk mencoba menirukan bunyi-bunyian yang disukainya. Walaupun dia belum mengerti, Anda harus berusaha untuk terus berinteraksi dengannya melalui obrolan, membacakan cerita ataupun bernyanyi untuknya. Cara lain yang bisa Anda lakukan adalah bermain si kecil di depan kaca. Rene mengatakan, ?Cara ini tak hanya dapat memberinya pandangan yang lebih baik tentang dirinya tapi juga dapat mendorong perkembangan emosi yang positif terhadap sosok yang dilihatnya di cermin.?
Untuk menunjukkan perasaan tidak senang, bayi mungil Anda kini sudah mulai dapat menunjukkannya dengan mengeluarkan suara-suara lain selain menangis. Jika ia merasa senang, ia pun dapat menunjukkannya dengan senyum, tertawa atau memperdengarkan suara-suara menyenangkan lainnya. Intinya, bayi Anda sangat suka diperhatikan dan tersenyum pada orang-orang yang dikenalnya. Sebaliknya ia pun bisa menunjukkan rasa takut jika berada dekat dengan orang-orang baru.
6-9 Bulan
Selama tahap ini, bayi yang diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang yang konsisten sudah memiliki ikatan sosial emosi yang kuat dengan orangtua dan pengasuh lain yang penting dalam hidupnya. Semakin kuat ikatan, semakin kuat pula kepercayaan si kecil. Dalam memorinya, ia pun telah membeda-bedakan orang di sekitarnya menjadi dua yaitu, orang yang disukainya atau orang asing. Karena itu, ia pun mulai menunjukkan rasa kehilangan dan protes yang kuat (separation anxiety) jika berada jauh dari orang yang dekat dengannya.
Hillary Kruger MD, pakar perkembangan dan perilaku anak menambahkan, bayi pada periode ini sudah dapat mengetahui jika orangtuanya meninggalkan ruangan lalu kemudian mencarinya. Ketakutan dan ketidaksukaannya terhadap orang asing pung semakin kuat ditunjukkan (stranger anxiety), misalnya dengan menangis atau dengan berlindung pada Anda. Mereka juga sudah mulai menunjukkan penolakan terhadap sesuatu hal yang tidak disukai. Saat terbangun di malam hari, beberapa bayi pada usia ini berusaha mengatasi ketidaknyamanannya dengan memegang atau menggigit mainan yang disukai atau bahkan jarinya sendiri. Menginjak usia 8 bulan ke atas, bayi Anda mulai menyukai permaian petak umpet. Sembunyikanlah mainan kesukaannya di bawah selimut, dan lihatlah bagaimana ia berusaha untuk menemukannya.
9-12 Bulan
Pada tahap ini rasa takut terhadap orang asing dan kelekatan terhadap orang-orang yang memiliki arti khusus buatnya masih akan terus berlanjut tapi akan berangsur-angsur berkurang. Ekspresi, gerakan tubuh dan suara untuk menunjukkan perasaannya pun sudah berkembang semakin kompleks. Interaksi sosialnya pun makin berkembang. Hal ini ini ditunjukkan dengan ketertarikannya untuk mulai bermain dengan orang lain.
Hillary mengatakan, mendekati usia satu tahun anak mulai menikmati permainan yang bersifat resiprokal (berbalasan), seperti menggelindingkan dan menangkap kembali bola. Sejalan dengan pertumbuhan fisiknya yang memungkinkan dia untuk bergerak lebih bebas ke sana-ke mari, ketertarikannya pun tumbuh semakin besar untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya. Menurut Hillary, hal itu biasanya ditunjukkannya dengan menunjuk suatu objek yang menarik agar orangtuanya pun ikut memberikan fokus dan perhatiannya.
2 comments April 3, 2008
Orang Tua Pendengar Anak
Orang Tua Harus Mejadi Pendengar bagi Anak
Reporter : Cornelius Eko Susanto
JAKARTA–MI: Terkait kasus kaburnya Fian, diiharapkan bisa menjadi cerminan bagi keluarga. Orang tua sepatutnya bisa menjadi pendengar yang baik dan jangan terlalu memaksakan kehendak pada anak, walaupun kehendak tersebut baik adanya.
“Kadang dengan cara memarahi, orang tua sebetulnya bermaksud baik dalam mendidik anak. Di lain sisi, walau tujuannya baik, namun apabila disampaikan dengan cara yang tidak tepat, maka kadang hal tersebut malah menjadi bumerang,” papar Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi kepada Media Indonesia, Senin (1/4), di Jakarta.
Di jaman saat ini, Seto mengatakan, beban hidup anak-anak sangat berat. Bisa dari beban kurikulum yang sangat berat, gurunya yang galak, pekerjaan rumah yang makin banyak dan lainya. Hal ini menyebabkan anak-anak semakin sress.
Dengan dimarahi oleh orang tua di rumah, menjadikan beban itu semakin berat. Seto berpendapat, dengan kabur dari rumah membawa uang bapaknya senilai US$10 ribu setelah dimarahi ibunya karena tidak mengerjakan PR, serta Fian tidak boleh tidur di kamarnya, hanya merupakan wujud protes dari anaknya.
Seto berpendapat, saat ini, model mendidik anak yang baik, orang tua wajib memberi teladan, serta mampu menjadi teman bagi anak.
Menyimak perjalanan Fian dalam petualangannya kabur dari rumah, Seto menilai, Fian sebetulnya merupakan anak yang kreatif. Pasalnya, anak yang beru berusia 9 tahun, bisa minta toong orang tidak dikenal untuk menukar dolarnya ke money changer.
Pada kesempatan itu, Seto menyesalkan langkah pihak-pihak yang mengekspos Fian di berbagai media cetak dan elektronik. Langkah tersebut dinilai menjadi kontra produktif. Pasalnya, orang lain bisa menaksir kekayaan keluarga Fian. Dikuatirkan bisa saja nantinya Fian menjadi korban kejahatan orang.
Di sisi lain, orang luar terlanjur memberi stigma negatif bagi Fian sebagai anak yang bandel, berbahaya bahkan pelaku kriminal. Hal tersebut tidak sehat bagi pertumbuhan psikologis anak.
Seto menduga ada hal yang tidak kondusif dalam keluarga Fian. Dengan demikian anak jangan terlalu dipojokan. (Tlc/OL-2)
Sumber : Media Indonesia
Add comment April 2, 2008
Musik Pengaruhi Kepribadian
Musik Miliki Pengaruh dalam Kepribadian
BENARKAH musik berpengaruh pada perkembangan anak? Penelitian ini masih banyak dilakukan orang. Meskipun demikian para ahli mempercayai bahwa ada hubungan antara musik dengan perkembangan kepribadian, fisik dan psikis seorang. Pengaruh musik terhadap perkembangan anak tidak hanya dimulai setelah anak lahir dan mendengar saja, tetapi sejak anak masih berada di dalam kandungan ibu.
Bila pernyataan ini dapat diterima, maka akan terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap proses belajar seorang anak, sudah harus dimulai sejak masih dalam kandungan.
Demikian dr. Teddy Hidayat Sp. Kj. kepada “PR”, ditemui di kediamannya yang asri di Kompleks Pilar Mas, Leuwigajah.
Menurut Teddy, pengaruh musik terhadap janin yang masih dalam kandungan, tentu tidak melalui rangsangan syaraf pendengaran, kemudian “dilarikan” ke otak, tetapi melalui mekanisme yang berbeda.
“Bukti bahwa pengaruh musik sudah terjadi sejak dalam kandungan antara lain pada suatu penelitian. Pada penelitian itu, seorang subjek diperdengarkan beberapa lagu. Pada sebuah lagu, subjek merasa pernah mendengar lagu tersebut, padahal “baru” kali itu dia mendengarnya. Subjek pun lebih mudah untuk mempelajari lagu tersebut dibandingkan lagu lainnya. Usut punya usut ternyata lagu itu adalah lagu yang sering disenandungkan oleh ibunya ketika mengandung subjek,” papar Teddy.
Diperkirakan proses pembelajaran pada anak di dalam kandungan terjadi melalui neurotransmitter dan kimia darah lain lewat darah ibu. Dan berdasarkan jenisnya, musik klasik adalah musik yang terbaik pengaruhnya terhadap perkembangan anak. “Sementara musik rock dan heavy metal kurang. Itu karena musik klasik bersifat universal, artinya berlaku untuk semua orang. Orang yang tidak pernah mendengar musik klasik akan mempunyai efek yang sama,” jelasnya.
Hal itu, tambah Teddy, berdasarkan teori bahwa pengaruh musik terhadap seseorang bukan hanya dari keindahan nada-nadanya saja, tetapi ditentukan pula oleh frekuensi dan amplitudao getaran-getaran suara.
Pilih-pilih
Hal senada dituturkan oleh seorang psikolog, Alfa Handayani S.Psi. “Musik mampu meningkatkan pertumbuhan otak anak, karena musik itu sendiri merangsang pertumbuhan sel otak. Musik bisa membuat kita rileks dan senang hati, yang merupakan emosi positif. Emosi positif inilah membuat fungsi berpikir seseorang menjadi maksimal,” jelasnya.
Selain itu, musik juga bagus untuk emosional anak. “Misal, jika didengarkan musik lembut, maka anak akan tenang, kalau musik yang riang, anak pun akan terlihat gembira,” jelasnya. Biasanya, seorang anak yang sejak dalam kandungan, biasa didengarkan musik, ketika dalam perkembangan pertumbuhannya nanti, anak itu dapat dengan mudah beradaptasi dan belajar soal musik.
Menurut Alfa, ibu satu orang anak itu, musik memiliki fungsi terapik. “Oleh karena itu kalau kita sebagai orang tua mau memanfaatkan fungsi musik di rumah, akan sangat bagus bagi perkembangan anak, karena membuat atmosfer rumah lebih bersemangat, tergantung musik yang dipasang,” tuturnya.
Fungsi terapi musik dirasakan Alfa di rumahnya, terutama pada putrinya yang baru berusia 9 tahun, dan kini duduk di kelas 3 SD. “Di rumah, saya selalu memasang musik. Kebetulan saya memang suka sekali musik. Dan ketika hamil dulu, sebelum ada wacana seperti ini, saya pun sering menyetel musik yang secara tidak langsung juga didengar oleh bayi dalam kandungan saya,” jelasnya.
Dari kebiasaan itu, Alfa merasakan manfaat yang baik tentang musik terhadap anaknya. “Dia kalau mau belajar, biasanya minta disetelkan lagu klasik, yaitu Mozart. Dan saya lihat semangat belajarnya jadi tinggi,” celoteh Alfa, yang juga Kepala Sekolah SD 9 Mutiara di Perumahan Taman Hijau, Situ Aksan.
Sayangnya, musik tidak banyak dilibatkan dalam kurikulum sekolah, bahkan kerap kali dipandang remeh. Berangkat dari pemahaman betapa musik berfungsi terapi, di sekolah yang ia pimpin, Alfa memasukkan unsur musik dalam proses belajar-mengajar. “Di sekolah itu, musik dipakai sebagai background, dan disetel mengiringi pelajaran. Musik yang disetel adalah musik-musik klasik intrumental. Dan sejauh ini, kami melihat semangat belajar anak-anak, dan antusiasme untuk belajar mereka sangat tinggi. Mereka pun terlihat menikmati pelajaran yang diajarkan guru-gurunya,” ujarnya.
Terapi musik
Kini di beberapa rumah sakit di luar negeri, telah melakukan “terapi musik” dalam proses penyembuhan pasiennya. Musik terapi, jelas dr. Teddy, adalah menggunakan atau interfensi dengan musik untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi fisik emosi, fisiologis, dan kesehatan jiwa serta kesejahteraan. Tim musik terapi terdiri dari dokter, social worker, psikolog, guru dan orang tua.
Musik juga merupakan alat yang utama dalam memperbaiki rasa saling percaya. Kegiatannya dapat berupa bernyanyi, mendengar, bermain musik, atau menjadi “komposer”. Lalu siapa saja yang perlu mengikuti musik terapi?
Menurut dr. Teddy, mereka yang sebaiknya mengikuti terapi musik diantaranya ialah orang yang mengalami gangguan jiwa, cacat fisik, lanjut usia (lansia), penderita penyakit stadium akhir (tidak ada harapan hidup), degradasi mental, perkembangan yang terhambat, dan yang mengalami kesulitan kesulitan belajar.
“Tempatnya macam-macam, ada di rumah sakit, tempat perawatan, sekolah, pusat pengobatan, kelompok-kelompok terapi dan dokter praktek swasta,” sebutnya.
Banyak hal yang bisa diperoleh dari terapi musik. Terapi musik bisa meningkatkan keterampilan berkomunikasi, mengurangi perilaku yang tidak selaras, memperbaiki prestasi anak didik, memeperbaiki gerakan psikomotorik, menambah perhatian, memperbaiki hubungan interpersonal, pengelolaan nyeri dan mengurangi stres.
Terapi musik untuk mereka yang mengidap penyakit di stadium terminal (akhir), seperti pada penderita kanker ganas stadium terminal akhir pada penderita kanker payudara, otak, prostat, ginjal, paru-paru, fungsi terapi musik bersifat paliatif.
“Disini, terapi musik bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri, mampu mengekspresikan perasaannya, meningkatkan rasa pecaya diri, mengurangi perasaan cemas dan stres, mengurangi rasa takut, jadi lebih mandiri, lebih mampu berkomunikasi, serta mampu mengatasi perasaan murung dan sedih,” jelas dr. Teddy Sp. Kj. (EsGe/”PR”)***
Add comment April 2, 2008
Bantu Anak Berkomunikasi
Yuk, Bantu Si Kecil Berkomunikasi
Dengan kata-kata dan bahasa tubuh, anak-anak yang sudah lebih besar dan orang dewasa bisa dengan mudah mengkomunikasikan pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya setiap saat. Tetapi bayi, bagaimanakah dia dapat memberitahu Anda apa yang diinginkannya? Dapatkah ia menunjukkan pada Anda bahwa ia ingin dipeluk, mainan tertentu, merasa haus atau lapar?
Beberapa bayi memang dapat membuat sinyal-sinyal yang cukup jelas, sehingga dengan mudah bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Mereka biasanya tidak memiliki kesulitan dalam mengekspresikan perasaan karena mereka dapat menggunakan indera pendengaran, penglihatan, peraba dan penciuman untuk menangkap sinyal yang Anda kirimkan padanya, kemudian dengan otot-ototnya mengirimkan pesan balik pada Anda. Tetapi tidak semua bayi seperti itu. Beberapa bayi lainnya tidak bisa memberikan respon yang cukup jelas terhadap sinyal yang Anda kirimkan padanya. Karena itu, tidak jarang Anda gagal atau salah dalam mengartikan pesan yang coba dikirimkannya.
Walaupun demikian, Anda sebagai orangtua harus tetap proaktif. Cobalah untuk lebih sensitif terhadap berbagai tanda yang coba ia kirimkan kepada Anda. Kemudian, usahakanlah untuk selalu memberitahu si kecil bahwa dia adalah komunikator yang sukses, yang pesannya dapat Anda mengerti.
Waktunya Melantai
Karena mobilitas dan gerakan motorik si kecil masih terbatas, maka cara terbaik untuk berkomunikasi dengan bayi kecil adalah dengan mencoba untuk melantai bersamanya. Saat bersama-sama duduk atau tiduran di lantai, di situlah itu Anda bisa mendapatkan perhatiannya. Posisikan diri Anda dengan jarak setidaknya satu jengkal dari wajahnya, sehingga dia pun tak kesulitan memfokuskan pandangannya terhadap Anda. Selanjutnya, Anda akan secara aktif membantunya untuk membuka lingkaran komunikasi dengannya. Proses ini melibatkan Anda dan si kecil untuk saling menerima sinyal dan pesan masing-masing. Lingkaran komunikasi terbuka begitu si kecil mengirimkan sinyal pertamanya pada Anda. Anda juga dapat menggunakan alat-alat bantu lain yang dapat membantu membangun komunikasi seperti buku-buku, mainan atau pun memvariasikannya dalam bentuk permainan, cerita, menyanyikan lagu dan lain sebagainya.
Jaga Kelangsungan Proses Komunikasi
Practice makes perfect. Saat si kecil sudah mulai dapat menggunakan suara dan gerak tubuh yang lebih variatif, Anda pun akan terpacu untuk mendorongnya terus menggunakan kemampuan barunya agar ia pun semakin pandai mengekspresikan keinginan dan perasaan-perasaannya. Melalui interaksi yang terus dijaga, segera Anda pun akan dapat mengenali irama dan gaya berkomunikasinya. Pada usia ini, biasanya bayi akan lebih banyak menggunakan gerak tubuh dibandingkan kata-kata. Mereka akan menunjuk sesuatu, menggerakkan tubuhnya pada posisi tertentu, menggunakan gerakan tangan atau malah menyerang Anda. Beberapa bayi akan kelihatan lebih pendiam dan pasif. Namun apapun itu, Anda harus tetap menghargai apapun gayanya dan cobalah untuk menyeimbangkan gaya berkomunikasi Anda dengannya.
Tunjukkan Ekspresimu Nak!
Anda bisa kok membantu si kecil untuk lebih ekspresif mengungkapkan perasaannya. Yang Anda perlu lakukanlah adalah mencoba untuk memberikan respon setiap kali si kecil mencoba mengirim sinyal apapun yang ia gunakan untuk mengekspresikan perasaannya secara tepat. Semakin Anda dapat merespon dengan tepat pesan yang dikirimkannya, semakin dapat pula si kecil mengapresiasi bermacam-macam perubahan yang dikirimkan olehnya ataupun orang lain terhadapnya. Semakin Anda dapat berempati dan berbagi dengannnya, si kecil pun akan semakin mengerti kalau ternyata secara emosional dia pun bisa dimengerti. Dengan kedekatan emosional yang dia rasakan dengan Anda, bayi Anda pun akan semakin dapat mengekspresikan berbagai perasaan yang dimilkinya, baik itu perasaan negatif maupun positif.
Biarkan Ia Menjadi Bos
Saat si sudah mulai dapat menyampaikan kemamuannya pada Anda, kadang-kadang keinginan menjadi bos kecil pun timbul dalam dirinya. Namun pada kenyataannya, dia akan mengetahui bahwa tidak selalu mudah untuk mengontrol Anda. Ini bukan saatnya untuk memarahinya, karena sebenarnya si kecil sedang belajar untuk mendapatkan perhatian Anda setiap kali ia mencoba mengekspresikan keinginannya melalui bahasa tubuhnya. Karena itu, biarkan dia untuk sekali-kali menjadi bos. Dengan membiarkan si kecil mengontrol waktu bermain bersama Anda misalnya, sebenarnya ia sedang mengembangkan kemampuan berkomunikasinya. Lagipula, Anda juga bisa belajar mengetahui apa yang menjadi kesukaannya. Tak hanya itu, Anda juga menumbuhkan kepemimpinan dalam dirinya, membuatnya merasa berharga dan penting.
Komunikasi Dua Arah
Sesederhana apapun permainan yang Anda lakukan, asalkan melibatkan komunikasi dua arah dengan si kecil maka hal itu dapat menjadi latihan yang sangat berguna bagi sistem saarafnya. Permainan ini akan mengajarinya untuk melakukan koordinasi berbagai macam respon pada saat yang bersamaan. Permainan ‘Ciluk Ba’ misalnya, akan membantu mengembangkan kemampuan si kecil untuk melihat wajah Anda, mendengar kata-kata dan secara spontan menggerakkan tangannya. Saat si kecil mencoba menyentuh hidung Anda dan menekannya, cobalah membuatnya menjadi permainan interaktif yang menyenangkan dengan berpura-pura menjadi lokomotif atau gajah dengan mengeluarkan suara khasnya. Si kecil pun akan lebih termotivasi untuk mempelajari bahasa tubuh Anda karena ada cinta dan kesenangan dalam interaksi tersebut. Dan dalam mengamati segala perkembangannya di sepanjang tahu pertama, Anda pun akan semakin tahu dan sadar akan keunikan kepribadiannya.
Rumah Sebagai Tempat Eksplorasi
Jika bayi Anda merasa bebas untuk bereksplorasi di dalam rumah, dia pun akan semakin terakomodasi untuk mengkomunikasikan keinginannya. Sebaliknya jika Anda terlalu banyak menggunakan batasan-batasan terhadapnya, kesempatannya untuk menjadi pribadi yang asertif akan terhambat. Tapi jangan lupa, pastikan Anda sudah memperhatikan faktor keamanan di dalam rumah. Segera pasang pengaman pada ujung meja yang tajam, pintu atau jendela yang mudah terbuka tutup, saklar listrik, tangga, dapur atau tempat-tempat lain di dalam rumah yang berpotensi menyimpan bahaya.
Add comment April 1, 2008
Stress Pada Anak
Stres Pada Anak dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisik (1)
Oleh: Dokter HANDRAWAN NADESUL
Kata orang semakin banyak anak sekolah sekarang yang stres. Kompetisi di sekolah semakin ketat, kurikulum kian padat, dan metode pengajaran dan sikap pendidik dinilai kurang manusiawi. Semua itu menyiksa hari-hari bermain anak. Belum lagi ditambah dengan waktu yang dirampas dari hari-hari anak untuk (terpaksa) les ini-itu. Maka beban hidup anak melebihi kodratnya yang perlu lebih banyak bermain. Apa pengaruh penyakit stres terhadap kondisi fisik anak, kita bicarakan di sini.
BUKAN satu kali terdengar kasus anak menolak berangkat ke sekolah. Atau ada juga anak yang setiap kali tiba di depan gerbang sekolah langsung muntah, atau sakit perut, dan mencret. Penyebabnya satu. Hampir pasti anak itu sedang jatuh stres.
Anak yang stres bisa jadi karena membenci gurunya. Boleh jadi karena membenci mata pelajarannya. Tak jarang lantaran kedua-duanya. Anak tak merasa nyaman selama bersekolah. Konsep belajar-mengajar kita menjadi cenderung indoktrinasi, menjadi hanya searah, dan bukan dialog.
Cerita ihwal pendidikan hanya searah sebagaimana lazim dialami anak didik kita melahirkan anak didik yang kurang pandai untuk bebas mengekspresikan isi kepalanya. Anak jadi pasif, dan otaknya kurang dinamis. Kelemahan anak yang terbiasa dicekoki pelajaran ini umumnya terbawa sampai jenjang universitas.
Anak didik dengan model belajar mengajar seperti ini, cenderung tidak menyukai pelajaran bisa lantaran gurunya, mata pelajarannya, atau peraturan sekolahnya. Bisa juga karena sikap gurunya, bukan mata pelajarannya.
Sebetulnya semua anak bisa mencintai matematika mata pelajaran yang ditakuti itu kalau gurunya pandai menjinakkan momok bahwa matematika itu susah. COntohnya adalah peran seorang Prof. Johannes Surya, yang menjadikan proses belajar fisika itu sama menariknya seperti belajar sejarah atau ilmu bumi.
Menghapuskan stressor
Seseorang, apakah itu anak atau orang dewasa akan jatuh stres kalau hidupnya gagal beradaptasi dengan stressornya. Kita tahu stressor dalam hidup seseorang ada empat yaitu tekanan, konflik, frustrasi, atau krisis. Mustahil seseorang bisa hidup terbebas dari stressor. Bahkan, stressor dalam takaran rendah dibutuhkan agar jiwa kebal.
Ibarat vaksin untuk mengebalkan terhadap sejumlah penyakit infeksi, stressor juga bisa dijadikan vaksin agar jiwa anak tahan banting. Semakin lengkap stressor pernah anak alami semasa kecilnya, semakin kuat ketahanan jiwa anak. Anak yang rentan bunuh diri, hanya gara-gara soal sepele, misalnya, tergolong anak yang ketahanan jiwanya lemah.
Tentu dalam perjalanan hidup seorang anak tidak mungkin selalu mengalami stressor. Anak yang berasal dari keluarga kecukupan, umumnya semua kebutuhan hidupnya serba tersedia, serba lengkap, dan miskin pengalaman stressornya. Sebaliknya anak yang hidupnya prihatin, mengalami stressor yang lebih banyak, selain lebih lengkap, maka mereka lebih kebal kalau sewaktu-waktu mengalami kekecewaan, putus asa, atau menghadapi konflik, atau jika jiwanya tertekan.
Maka sebetulnya diperlukan latihan (rekayasa) agar setiap anak juga mengalami stressor sejak kecil. Menciptakan suasana krisis lewat outbond, misalnya, bertujuan anak merasakan juga kalau hidup tidak selalu mulus. Sikap pengasuhan yang tidak selalu meluluskan apa saja permintaan anak, sikap tidak memanjakan, membiarkan anak belajar hidup berdisiplin, bagian dari pembelajaran agar jiwa anak tidak rapuh.
Malstress
Tentu saja tidak sehat kalau stressor berlangsung lama, dan jenis stressornya sama. Orang yang dirundung stressor yang sama berkepanjangan, jika gagal beradaptasi, akan jatuh ke dalam penyakit stres. Ini stressor yang tidak sehat.
Jadi, penyakit stres itu akan dialami jika orang gagal menyesuaikan diri dengan beban stressornya yang bertubi-tubi untuk waktu lama. Jiwa yang kalah melawan stressornya yang akan jatuh stres. Maka pada saat itulah muncul gejala penyakit stresnya.
Tidak demikian dengan orang yang tetap tidak sakit walaupun masih terus dirundung oleh stressor yang tidak berlangsung lama dan terus berganti. Orang ini tergolong orang yang jiwanya tahan banting.
Orang yang sejak kecil sudah kebal hidup dengan keputusasaan, hidup dengan konflik, tekanan, maupun krisis, biasanya tidak gampang stres. Maka, dibanding anak yang hidupnya kecukupan, anak yang sudah pernah hidup susah biasanya tidak mudah stres.
Maka belajar hidup susah juga diperlukan. Mengapa? Karena untuk bisa hidup sebagai orang kaya, setiap orang sudah siap. Sebaliknya, jika harus hidup susah, belum tentu orang siap menjalaninya.
Untuk tujuan itulah, walaupun orangtuanya serba kecukupan, tak perlu memanjakan anak dengan segala kelebihannya. Tak perlu mengumbar serba ketercukupan hidupnya. Sesekali anak juga perlu merasakan bagaimana rasanya kecewa kalau permintaannya tidak dipenuhi. Bagaimana putus asa, sedih, cemas, kalau menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hati.
Stres Pada Anak dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisik (2)
Oleh: Dokter HANDRAWAN NADESUL
Manifestasi stres
Penyakit stres menampakkan dirinya pada badan. Penyakit stres berarti beban jiwa yang dihibahkan ke dalam penderitaan badan.
Manifestasi penyakit stres pada badan bisa beragam jenis dan bentuknya. Organ tubuh paling peka terhadap penderitaan jiwa antara lain lambung, paru-paru, jantung, dan kulit. Maka keluhan orang yang sakit stres muncul pada ragam gejala penyakit lambung berupa maag, ashma jika beban itu dipikul paru-paru, atau seolah penyakit jantung kalau menimpa jantung, dan eksim kalau bermanifestasi pada kulit.
Maka kasus penyakit stres harus diperiksa sebagai penyakit bukan fisik semata, kendati gejala dan keluhannya pada badannya. Anak yang sering muntah, diare, atau jantungnya berdebar, kalau bukan eksim yang tak sembuh-sembuh, bisa jadi itu wujud dari penyakit stresnya. Yang diobati tentu bukan semata gejala yang dikeluhkan dan tampak dari luar itu saja, melainkan juga sumber di dalam jiwanya, yakni sumber stresnya.
Selain menghapuskan faktor stressornya, yang biasanya berasal dari luar dirinya, menenangkan jiwa juga diperlukan. Kalau perlu diberikan obat penenang juga selain menyembuhkan gangguan jantung, paru-paru, atau kulit yang mungkin muncul.
Artinya, pengaruh penyakit stres terhadap proses tumbuh-kembang anak cukup besar, jika keluhan dan gejala penyakit stresnya tidak diredam. Hal itu bisa menghambat proses belajarnya juga. Maka anak yang sudah jatuh stres tidak boleh dibiarkan, agar dampak buruk terhadap jiwa raganya tidak berkepanjangan
2 comments April 1, 2008
Temperamen Balita
Kenali Temperamen Balita Anda,anna
Agar tidak salah menangani balita Anda, ada baiknya Anda mengenali 5 jenis temperamen si kecil.
Si malaikat kecil
Balita yang masuk dalam kategori ini adalah idaman banyak orangtua. Biasanya si kecil sangat mudah menerima lingkungan baru dan gampang merasa nyaman, jika bertemu kerabat atau famili yang baru pertama ditemuinya, ia tidak rewel. Ciri lainnya adalah ia lebih cepat belajar bahasa dibanding balita lain.
Ketika ia menginginkan sesuatu yang tidak bisa dimilikinya, Anda tidak akan kesulitan mengalihkan perhatiannya sebelum emosinya naik. Dan ketika ia sedang rewel, Anda juga bisa membujuknya dengan mudah, sangat jarang balita ini masuk dalam periode tantrum. Si kecil juga senang bermain. Singkatnya, balita ini mudah diatur, bahkan ketika diajak bepergian ia bisa menyesuaikan diri dengan cepat.
Si Textbook
Semua proses kembang dan tumbuhnya, persis waktunya seperti apa kata buku. Berguling umur 4 bulan, tumbuh gigi ketika berusia 7 bulan, dan sebagainya. Si kecil tidak akan rewel ketika Anda membawanya ke acara sosial seperti pertemuan keluarga meski pada awalnya ia malu-malu saat bertemu orang asing.
Ia lebih nyaman jika berada di lingkungan yang dikenalnya, tetapi jika semuanya sudah diatur dan Anda menyiapkan mentalnya, ia tidak akan kesulitan untuk beradaptasi. Misalnya sebelum masuk play group, Anda sebaiknya menceritakan suasana sekolahnya, apa saja yang akan dipelajari, dan sebagainya, sehingga ia tidak kesulitan menerima lingkungan barunya. Balita dalam kategori ini menyukai rutinitas dan lebih suka jika semuanya sudah dijadwalkan.
Si Sensitif
Balita dalam kategori ini memiliki sifat yang sensitif dan lambat beradaptasi dengan situasi baru. Ia lebih menyukai dunia yang sudah dikenalnya. Ketika sedang menikmati suatu kegiatan, ia tidak suka diganggu. Misalnya ketika ia asyik dengan boneka atau mobil-mobilannya dan Anda memintanya untuk berhenti, ia akan marah dan menangis.
Balita ini sering disebut sebagai “si pemalu”. Dan memang demikianlah sifatnya. Dalam hal bersosialisasi ia memang kurang pandai, apalagi jika ia merasa merasa tertekan di antara teman-teman barunya. Terkadang ia juga susah untuk berbagi.
Sebenarnya ia lebih suka melakukan sesuatu sendiri, untuk itu sebaiknya Anda memberi kepercayaan padanya karena hal itu bisa membuatnya belajar mandiri. Ia adalah anak yang memiliki perasaan peka dan berhati-hati dan serta banyak pertimbangan dalam menghadapi masalah. Balita yang memiliki sifat peka dan sensitif biasanya berbakat dalam hal seni.
Si Semangat
Si kecil sangat aktif bergerak secara fisik dan cenderung mengalami temper tantrum (marah yang sulit dikendalikan). Ia suka bergaul dan punya rasa ingin tahu yang besar dibanding balita lain. Balita ini suka petualangan ; ia akan melakukan apa yang disukainya dan tidak suka dilarang. Ia sangat bangga jika berhasil melakukan atau mengerjakan sesuatu.
Sebagai orangtua, Anda sebaiknya memberi peraturan yang jelas untuk diketahuinya, mana yang boleh dan mana yang tidak. Sekali ia menangis, susah untuk menghentikannya, bahkan ia punya banyak energi untuk terus menangis. Saat bermain bersamanya, Anda bisa menanamkan ’aturan’ agar ia tidak bersikap semaunya. Anda juga harus kreatif menemukan permainan agar si kecil bisa menyalurkan energinya. Si semangat berbakat untuk menjadi pemimpin dan akan giat berusaha untuk mendapatkan apa yang menarik baginya.
Si pemarah
Ia adalah anak yang keras kepala, pemarah dan ingin semua sesuai kehendaknya. Jika Anda memaksanya melakukan sesuatu sebelum ia siap, ia akan menolak dan meledak. Jika Anda mengajarinya melakukan sesuatu, ia akan menepis tangan Anda. Karena ia suka mengerjakan sesuatu dengan caranya, ia lebih suka dibiarkan sendiri. Padahal, sebagai balita ia belum terampil mengerjakan banyak hal, tetapi ia cenderung sok tahu, akibatnya ia sering frustasi dan marah.
Ketika sedang marah, ia akan menangis sekeras-kerasnya. Karena ia agak susah mengekspresikan perasannya, maka ia jadi pemarah dan suka memaksa. Balita ini lebih suka melakukan sesuatu sesuai moodnya. Semakin Anda paksa, semakin keras kepala ia. Meski begitu, balita pemarah memiliki ’jiwa lebih tua’, mereka biasanya kreatif, banyak akal dan terkadang bijaksana, seolah sudah pernah mengalami sebelumnya. (An)
Add comment Maret 31, 2008
Emosi Bayi
SEPERTI APA SIH, REAKSI EMOSI PADA BAYI
Jangan salah, bayi pun bisa menunjukkan emosinya. Entah yang baik maupun tidak. Asalkan ditangani dengan baik, reaksi emosi yang jelek tak bakalan menetap hingga besar.
Sering, kan, melihat bayi menangis kala ia lapar. Sebelum diberikan susu, ia tak akan berhenti menangis, bahkan tambah keras. Tapi bila kebutuhannya segera dipenuhi, akan berhenti tangisnya.
Nah, menangis pada bayi, selain sebagai salah satu bentuk komunikasi prabicara untuk memberitahukan kebutuhan/keinginannya, juga untuk menunjukkan reaksi emosinya terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan. Reaksi emosi bayi yang demikian, menurut Dra. Dewi Mariana Thaib, sebetulnya masih wajar, karena si bayi bereaksi terhadap suatu keadaan yang tak menyenangkan, yaitu lapar. “Hanya saja, kalau reaksinya berlebihan, semisal menangis terus, meski sudah diberikan susu, berarti ada sesuatu pada dirinya. Apakah dia sakit atau ada suatu kelainan pada sarafnya,” terang psikolog dari RS Bunda, Jakarta ini.
Sangat penting bagi orang tua untuk mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya. Sebab, reaksi emosinya ini akan berpengaruh pula nantinya pada kehidupan si anak, terutama pada penyesuaian pribadi dan sosialnya. “Di usia satu tahun pertama ini, bayi sedang beradaptasi dengan udara, makanan, dan lingkungan sekitarnya. Di usia ini pulalah emosinya mulai berkembang.” Itulah mengapa, orang tua harus memperhatikan betul kebutuhan fisik dan mentalnya, sampai sekecil apa pun.
DAPAT DIBEDAKAN
Pada awalnya, terang Dewi lebih lanjut, saat lahir, reaksi emosi bayi masih sederhana, yaitu hanya mengungkapkan emosi kesenangan dan ketidaksenangan. “Ia akan bereaksi senang bila kebutuhan menyusunya terpenuhi, dengan mengeluarkan suara yang tampak puas. Sebaliknya, ia akan bereaksi tak senang dengan menangis bila popoknya basah.”
Yang pasti, pada bulan-bulan pertama, ia tak memperlihatkan reaksi secara jelas, yang menyatakan keadaan emosinya yang spesifik. Misal, marah. Semua rasa ketidaksenangan akan diekspresikan dengan tangisan. “Nah, pada bulan-bulan pertama ini, respon orang tua terhadap bayi pun akan berpengaruh nantinya. Misal, jika pemberian susunya terlambat sementara bayi sangat lapar atau popoknya basah didiamkan saja, maka bayi akan merasa tak nyaman. Meski dia hanya bisa bereaksi dengan menangis, tapi bibit-bibit emosi rasa kecewa dan marah mulai timbul.”
Mulai usia dua bulan bayi bisa bereaksi tersenyum bila dirinya merasa senang atau gembira. Usia tiga bulan mulai bisa bereaksi dengan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mengungkapkan kekesalan, bila dirinya kesal atau marah, semisal, dia tak bisa menggapai mainannya. Kadang juga diungkapkan dengan tangisan dan jeritan.
Usia 6-9 bulan sudah mengenal rasa takut. Bukankah saat itu ia sudah mengenal orang-orang di sekitarnya? Hingga, kalau ia ditinggal oleh orang tuanya, ia akan merasa takut dan mulai mengeluarkan suara-suara ketakutan atau menangis.
“Pokoknya, makin usia bayi meningkat, reaksi emosinya makin dapat dibedakan dan bertambah. Sebab, sejalan dengan bertambahnya umur dan semakin matangnya sistem saraf serta ototnya, bayi pun mengembangkan berbagai reaksi emosinya.” Misal, kalau di usia 2 bulan emosi kegembiraannya diungkapkan dengan tersenyum saja, maka makin lama dia bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan mengeluarkan suara-suara ataupun tertawa kala diajak bicara oleh orang tuanya. Bahkan, ketika dia sudah bisa jalan dan berlari, bila ada timbul rasa gembira, dia bisa melonjak-lonjak atau berlari-lari.
Demikian pula dengan emosi takut. Biasanya bayi takut dengan kamar gelap, binatang, berada sendirian, serta orang yang asing baginya. Mungkin awalnya, kalau takut ia hanya bereaksi dengan menangis. Seolah dirinya tak berdaya dan seperti meminta tolong. Makin bertambah usia dan motoriknya pun berkembang, ia bisa bersembunyi di balik tubuh ibunya atau memeluk ibunya, menarik selimut untuk menutupi wajahnya, atau berlari menghindar dari sesuatu yang membuatnya takut.
Akan halnya rasa marah, misal, di usia 6 ?9 bulan, kala bayi sudah bisa melempar benda atau menghentak-hentak kakinya, ketika emosi marahnya terangsang, bisa saja reaksinya dengan melempar. Ketika reaksi tersebut dirasa menyenangkan dan dapat memuaskan emosinya, maka akan diulang kembali. “Nah, untuk mengetahui apakah si bayi memang betul-betul dalam emosi marah atau hanya ingin mencoba-coba melempar benda dalam arti dirinya sedang bereksplorasi, tentunya orang tua harus melihat, apakah memang ada kebutuhannya yang tak dipenuhi atau ada sesuatu yang membuatnya marah ataukah tidak.”
MASIH BISA DIUBAH
Jadi, orang tua harus mengetahui dan mengenal reaksi emosi bayinya, entah yang baik maupun tidak. Jangan sampai, reaksi emosi yang jelek berlanjut sampai si bayi besar. Pasalnya, nanti anak akan belajar menggunakan reaksi ini sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Apalagi di masa-masa emosi sulit, yaitu usia 0 hingga balita. Bukankah tak jarang kita lihat, anak kecil yang kalau marah tiduran di lantai, duduk menghentak kaki, memukul, atau melempar segala macam benda?
“Sebetulnya, bila baru berusia sampai setahun, emosi bayi masih bisa berubah karena baru muncul dan baru akan berkembang,” kata Dewi. Itulah mengapa, orang tua harus tetap waspada dengan emosi bayinya. “Jika ada reaksi emosinya yang kurang baik, paling tidak, kita bisa menekannya atau meminimalkannya.” Dengan kata lain, orang tua harus melatih pengendalian diri anak sejak dini.
Tapi melatihnya harus dengan konsekuen, lo. Misal, bila bayi ingin minum susu dan menangis tak sabar, maka ibu harus segera meresponnya. Kalaupun harus membuatkan dulu susu botol, maka buatlah di dekat si bayi sambil mengajaknya bicara. Misal, “Iya, sabar, ya, sayang. Ini Ibu sedang buatkan susunya. Ibu tahu, kok, kalau Adek lapar.”
Bila si bayi sudah bisa merangkak dan kita lihat tampaknya dia kesal karena sulit menggapai mainan yang diinginkan, maka kita bantu untuk memudahkan dengan cara mainannya didekatkan. Ketika dia sudah bisa meraihnya, kita beri pujian, “Hore! Pintar anak Mama. Capek, ya? Ayo, kita duduk dulu.”
Begitu juga kalau si bayi sudah mulai banyak motoriknya, seperti bisa jalan atau lari. Bila reaksi marahnya dengan cara fisik, seperti menendang, melempar, atau memukul, maka kita harus selalu memberi pengertian. “Kalau kamu marah, tidak boleh seperti itu. Nanti kaki kamu jadi sakit kalau menendang kursi itu. Kenapa kamu marah? Bilang, dong, sama Ibu.” Jadi, anak dilatih untuk dapat mengendalikan fisiknya. Hingga nantinya kalaupun dia marah, mungkin tak sampai bereaksi berbahaya dengan fisiknya. Mungkin hanya mimik mukanya saja yang tampak memerah.
Menurut Dewi, biasanya seiring usia bertambah, reaksi emosi dengan menggunakan gerak fisik/otot makin berkurang. Apalagi ketika anak sudah bisa bicara, maka reaksi emosinya akan diwujudkan dengan reaksi bahasa yang meningkat.
JANGAN BANYAK LARANG
Namun, dalam melatih atau mendidik emosi anak, disarankan tak banyak larangan karena akan menimbulkan rasa takut pada anak. Misal, “Adek, jangan main ke situ, ada kecoa, lo. Nanti digigit!”
Sebetulnya, papar Dewi, usia bayi belum menyadari ada tidaknya bahaya bagi dirinya, tapi karena mimik muka ibunya dan nada suaranya menakutkan, maka mengkondisikan si bayi akan rasa takut. “Larangan boleh saja kalau memang ada yang membahayakan. Kalau tidak, sebaiknya dihindari.” Namun, dalam memberitahukannya harus dengan bahasa dan mimik muka yang baik.
Yang jelas, bila sejak bayi dilatih pengendalian emosi dengan baik, maka reaksi emosinya bisa ditanganinya dengan baik pula. Meski mungkin sifat jeleknya tetap ada, tapi tak terlalu menonjol. “Jadi, ini merupakan tindak pencegahan pula dari reaksi emosi negatif yang tak diinginkan.”
Ingat, lo, bila tak sejak dini kita melatihnya, maka akan sulit mengubahnya ketika anak bertambah usianya. Bahkan mungkin saja reaksi emosi tersebut akan menetap sampai si anak dewasa. Tentunya kita tak menginginkannya demikian, kan, Bu-Pak?
Jumat, 13 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar