Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Akses terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu hak asasi manusia. Kebijakan pemerintah terhadap peningkatan akses obat diselenggarakan melalui beberapa strata kebijakan yaitu Undang-undang sampai Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur berbagai ketentuan berkaitan dengan obat. Secara ekonomis, harga obat di Indonesia dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan1. Kebijakan obat meliputi aspek ketersediaan, keterjangkauan, mutu dan keamanan serta khasiat.
Kebijakan pengendalian harga obat generik ditetapkan oleh
pemerintah dengan acuan harga obat terjangkau oleh daya beli
masyarakat serta harga obat masih memberikan margin yang dapat
menjamin kontinuitas pasokan obat generik berlogo kepada
masyarakat2. Perbedaan harga obat generik dengan obat nama
dagang sejenis di Indonesia pada tahun 1996 berkisar antara 1,37-
22,34 kalinya. Pemerintah harus mengendalikan harga obat3.
Masalah penyediaan obat generik berlogo di apotik adalah : a)
persaingan antar produsen melalui pemberian potongan harga,
pomosi terselubung dan kemasan berbeda, b) ketersediaan item obat
tertentu kurang dan c) permintaan item obat tertentu kurang, yang
meliputi resep obat generik berlogo tidak banyak dan adanya obat
generik berlogo yang kurang laku. Sementara rendahnya pemakaian
obat generik disebabkan oleh kesulitan dalam memperoleh obat
generik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap khasiat dan
mutu obat generik4. Walaupun harga obat generik ini sudah di
tetapkan oleh pemerintah tetapi pelaksanaannya masih ditemui
variasi harga obat yang beredar di apotik maupun di pasaran.
Dengan demikian maka perlu dilakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan harga obat generik di sarana distribusi obat
terutama di apotik. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis
tertarik untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan harga obat generik
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata2 n
di apotik Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau setelah dikeluarkannya
SK Menkes RI No.720/Menkes/SK/IX/2006 tentang harga obat
generik tahun 2006.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan
obat generik di apotik Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Secara
khusus untuk mengetahui akses obat generik oleh masyarakat, menilai
dampak kebijakan harga obat generik terhadap ketersediaan obat
generik di kabupaten Pelalawan, harga obat generik di apotik
sebelum dan sesudah SK Menkes RI No.720/Menkes/SK/IX/2006,
variasi harga jual obat generik di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau
dan keterjangkauan daya beli masyarakat Kabupaten Pelalawan
terhadap obat generik.
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
Dinas Kesehatan Kabupaten Pelalawan dan Dinas Kesehatan Propinsi
Riau tentang ketersediaan dan keterjangkauan dan variasi harga
obat generik di apotik sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam
membuat rencana pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
terhadap pelaksanaan harga obat generik di Kabupaten Pelalawan.
Bagi apotik berguna untuk meningkatkan mutu pengelolaan dan mutu
pelayanan obat, memberikan informasi variasi harga obat generik
yang dijual yang selanjutnya menjadi pertimbangan dalam menjual
obat generik di apotik sesuai dengan SK Menkes RI serta di tingkat
nasional penelitian ini berguna sebagai sumbangan pemikiran tentang
dampak kebijakan penurunan harga obat generik di daerah dan
sebagai bahan masukan atau bahan pembanding bagi penelitian
berikutnya.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan
metode kuantitatif dan kualitatif dengan rancangan cross sectional.
Lokasi penelitian di apotik se-Kabupaten Pelalawan. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi dan
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 3
telaah dokumen. Penelitian cross sectional merupakan penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dan
model pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat atau point
time approach5
Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam,
observasi dan telaah dokumen. Pada tahap pertama dilakukan
penghitungan satu per satu nama obat yang sering diresepkan dari
lembar resep. Kemudian memilih 50 nama obat terbanyak dengan
maksud untuk memudahkan pengambilan 30 jenis obat di tiap apotik.
Kemudian melakukan pencatatan harga jual obat generik dengan
melihat buku daftar harga obat sebelum dan sesudah dikeluarkannya
SK Menkes RI. Tingkat ketersediaan obat dilakukan studi dokumentasi
terhadap tingkat ketersediaan obat yang ada di apotik dengan
membandingkan data persediaan obat di apotik terhadap
pemakaian rata-rata per bulan oleh apotik, sehingga dapat diketahui
berapa lama (bulan) tingkat ketersediaan obat di apotik. Untuk
ketersediaan obat, data diambil dengan melihat kartu stok obat
dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis data. Untuk
memperoleh data tentang obat rusak dan kadaluarsa dilakukan studi
dokumentasi menurut jenis obat yang rusak, jenis obat yang
kadaluarsa dan obat yang tersedia. Untuk memperoleh data tentang
kekosongan obat dilihat dari kartu stok obat. Untuk melihat akses obat
oleh pasien dilakukan dengan pengumpulan data peresepan. Resep
yang diambil adalah resep dari bulan Oktober 2006 sampai bulan
Oktober 2007. Untuk mengetahui daya beli masyarakat dilakukan
wawancara mendalam kepada masyarakat. Untuk melengkapi
informasi yang telah diperoleh pada penelitian kuantitatif dilakukan
wawancara mendalam kepada pemilik sarana apotik, apotiker
pengelola apotik dengan menggunakan pedoman wawancara.
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata4 n
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Akses Obat. Hasil pengamatan terhadap akses obat oleh pasien, ditemukan
resep yang terlayani 99,3% (Tabel 1), resep yang tidak terlayani
oleh apotik 0,7% (Tabel 2). Sedangkan resep yang obatnya
digantikan dengan obat lain yang sejenis adalah 0,5 % (Tabel 3).
Hampir semua resep yang masuk ke apotik dapat terlayani ini
disebabkan rata-rata apotik di Kabupaten Pelalawan melakukan
kerjasama dengan praktek dokter sehingga obat yang diresepkan
disesuaikan dengan jenis obat yang disediakan apotik. Sedangkan
apotik rumah sakit yang bekerjasama dengan Askes komersil
menyediakan obat sesuai dengan kebutuhan pasien peserta askes
tersebut. Sedangkan obat generik yang digantikan dengan obat lain
yang sejenis terlebih dahulu dilakukan konsultasi dengan dokter yang
menulis resep. Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan obat pasien
sesuai dengan resep. Apotiker tidak diizinkan mengganti obat generik
yang ditulis dalam resep dengan obat paten. Dalam hal ini jika pasien
tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apotiker wajib
melakukan konsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih
tepat. Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis besar
dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu (1) penggunaan obat
yang rasional, (2) harga yang terjangkau, (3) pendanaan yang
berkelanjutan dan (4) sistem kesehatan serta sistem penyediaan obat
yang dapat diandalkan. Oleh karena akses terhadap obat esensial
merupakan salah satu hak asasi manusia, maka obat esensial
selayaknya dibebaskan dari pajak dan bea masuk1.
Tingkat ketersediaan obat. Tingkat ketersediaan obat di apotik
Kabupaten Pelalawan rata-rata 4-7,3 bulan. Obat yang tingkat
ketersediaannya paling tinggi adalah Hidrokortison krim 2,5% yaitu
7,3 bulan dan yang paling rendah adalah Pirazinamid tablet 500 mg
yaitu 4 bulan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat ketersediaan obat
generik di apotik Kabupaten Pelalawan pada umumnya berada pada
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 5
kategori kurang karena tingkat ketersediaannya rata-rata kurang
dari 18 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa apotik tidak terlalu banyak
menyediakan obat generik. Ini disebabkan karena rata-rata mereka
belum mempunyai gudang sebagai tempat penyimpanan stok obat
generik. Apotik hanya berani menyimpan obat untuk jangka waktu 4
bulan kedepan. Selain itu juga untuk menyeimbangkan antara
pembelian dan penjualan obat di apotik.
Ketersediaan obat sebagai unsur utama dalam pelayanan kesehatan
selain keterjangkauan, keamanan, mutu dan manfaat, ketersediaan
obat terkait erat dengan pendanaan. Penelitian Mustika
kekurangsesuaian dana pengadaan obat ternyata secara tidak
langsung mengakibatkan berkurangnya kesesuaian ketersediaan
obat6. Salah satu prasyarat penting dari pelayanan kesehatan
masyarakat yang bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik
jenis maupun jumlahnya setiap saat diperlukan oleh masyarakat dan
mutu yang terjamin. Dalam rangka memberikan jaminan akan
ketersediaan obat maka perlu adanya upaya pemenuhan kebutuhan
obat sesuai dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Salah satu upaya untuk menjamin kecukupan obat adalah
memperbaiki mutu manajemen obat dan penggunaan obat. Mutu
manajemen obat dapat dapat ditingkatkan melalui intervensi secara
komprehensif mulai dari perencanaan, pengadaan,
persediaan (inventory), pendistribusian dan pencatatan/pelaporan
penggunaan obat serta pemantauan kecukupan obat dari waktu ke
waktu7.
Rendahnya ketersediaan obat generik di rumah sakit pemerintah
dapat berimplikasi secara langsung pada akses obat generik,
sebagai gantinya pasien membeli obat generik di apotik atau di
praktek dokter. Apotik swasta mempunyai obat generik lebih sedikit
dibandingkan dengan yang disediakan oleh dokter. Sehingga apotik
menyediakan obat paten lebih banyak8. Selama banyak obat yang
tidak tersedia, pasien mengeluarkan uang lebih banyak untuk
membayar obat. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata6 n
tersedianya obat yang tepat jenis dengan jumlah serta mutu yang
baik. Pemerintah menerapkan kebijakan obat esensial dan obat
generik untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat.
Penerapan tersebut bertujuan untuk menghemat dana pengadaan
obat, meningkatkan kerasionalan penggunaan obat, meningkatkan
keterjangkauan cakupan pelayanan kesehatan dan pengendalian
harga obat9 .
Tujuan persediaan obat adalah untuk menjaga agar pelayanan obat
oleh apotik berjalan lancar yaitu dengan menjaga kemungkinan
terlambat memesan serta menambah penjualan, bila ada tambahan
pesanan secara mendadak. Biasanya jumlah stok obat untuk
persediaan 1-2 bulan sesuai dengan kebijaksanaan apotik masingmasing.
Pengadaan barang dalam sehari-hari disebut juga pembelian
dan merupakan titik awal dari pengendalian persediaan. Pembelian
harus menyesuaikan dengan hasil penjualan, sehingga ada
keseimbangan antara penjualan dan pembelian. Keseimbangan ini
tidak hanya antara pembelian dengan penjualan total, tetapi harus
lebih rinci lagi yaitu antara penjualan dan pembelian dari setiap jenis
obat. Obat yang laku keras harus dibeli dalam jumlah relatif banyak
dibanding obat yang laku lambat10 .
Obat Generik Kadaluarsa dan Rusak. Total sembilan apotik yang ada,
2 apotik mempunyai obat kadaluarsa (Tabel 4), tidak ada apotik
dengan obat generik yang rusak (Tabel 5).
Jika terdapat obat kadaluarsa pihak apotik dapat mengembalikan
kepada pihak distributor, begitu juga dengan obat yang diterima
mengalami kerusakan. Obat yang kadaluarsa dikarenakan obat
tersebut tidak ada pemakaiannya dan kelalaian dari petugas apotik
untuk menukarkan kembali pada pedagang besar farmasi. Pada
umumnya apotik di Kabupaten Pelalawan tidak terdapat obat generik
yang kadaluarsa atau rusak. Hal ini menunjukkan ketepatan
perencanaan, baiknya sistem distribusi dan baiknya pengamatan mutu
dalam penyimpanan obat.
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 7
Distribusi obat yang efektif harus memiliki disain sistem dan
manajemen yang baik dengan cara antara lain menjaga supplai obat
tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses
distribusi, meminimalkan obat yang mubazir karena rusak atau
kadaluarsa, memiliki catatan penyimpanan yang akurat dan
pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat. Apotik di
Pelalawan telah melaksanakan sistem First In First Out (FIFO) dan
sistem First Expire First Out (FEFO) untuk menghindari terjadinya obat
kadaluarsa dengan memperhatikan bahwa dalam proses distribusi,
obat yang pertama masuk ke apotik akan lebih dahulu dikeluarkan
dan obat yang lebih pendek masa kadaluarsa akan lebih dahulu
dikeluarkan. Distribusi dan logistik obat merupakan salah satu titik
kritis dalam rantai upaya mencapai segala tujuan kebijakan obat
nasional. Jika implementasinya tidak dipantau dengan baik, berarti
tidak akan ada evaluasi yang memadai dan tidak ada perbaikan
atas kekurangan kapasitas atau implementasi strategi kebijakan obat
nasional yang dilakukan. Pada gilirannya menjadi tembok besar
penghalang akses terhadap obat11.Terjadinya obat kadaluarsa
mencerminkan ketidaktepatan perencanaan dan atau kurang baiknya
sistem distribusi, dan atau kurangnya pengamatan mutu dalam
penyimpanan obat. Adanya obat yang mengalami kadaluarsa dan
mengalami kerusakan mencerminkan kurang baiknya pengelolaan
obat12.
Waktu Kekosongan Obat. Stock out adalah keadaan persediaan obat
kosong yang dibutuhkan di apotik. Waktu kekosongan obat adalah
jumlah hari obat kosong dalam satu tahun. Semua apotik di
Kabupaten Pelalawan pernah mengalami kekosongan obat mulai dari
4 hari sampai 90 hari paling lama.
Sebagian obat yang paling sering terjadi kekosongan di apotik
adalah obat jenis antibiotika seperti Amoksisilin (Tabel 6). Amoksisilin
adalah salah satu item obat yang harganya diturunkan sesuai dengan
Kepmenkes nomor 720/MENKES/SK/IX/2006. Sedang bahan baku
untuk pembuatan obat tersebut masih mahal sehingga produksi obat
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata8 n
menjadi berkurang yang berakibat pada kelangkaan Amoksisilin di
pasar. Dampak lebih jauh adalah terjadinya kekosongan Amoksisilin
pada pihak distributor dan apotik sehingga pasien menjadi sulit memperoleh
obat tersebut. Itu adalah dampak negatif kebijakan pemerintah
menekan harga obat generik menjadi makin murah, sementara
grafik harga bahan baku justru terus menanjak. Begitu harga obat
generik turun, amoksisilin berangsur-angsur menghilang dari pasaran.
Beberapa industri farmasi enggan memproduksi obat generik sekarang
ini. Alasan mereka dengan memproduksi obat generik akan
mengakibatkan kerugian bagi perusahaan akibat kebijakan pemerintah
yang terus menekan harga jual menjadi semakin murah, sementara
harga bahan baku kian mahal.
Kekosongan obat ini disebabkan karena obat di Pedagang Besar
Farmasinya (PBF) kosong dan terlambatnya apotik memesan obat ke
PBF. Efisiensi adalah suatu keadaan yang ketersediaan obat tidak
menambah beban atau dapat menurunkan biaya. Perbekalan yang
efisien dapat diartikan perbekalan yang efisien dan efektif dan tidak
mahal, sedangkan keadaan stock out merupakan keadaan yang tidak
efektif. Stock out adalah keadaan persediaan obat kosong yang dibutuhkan
di apotik. Stock out mengurangi kualitas pelayanan karena
pasien harus membeli obat di luar dan mengurangi pendapatan
apotik. Seringnya terjadi kekosongan obat di apotik mempengaruhi
tingginya pengambilan obat di luar apotik13.
Harga Obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga jual obat
generik dari 30 jenis obat yang sering diresepkan dokter yang
diperoleh dari pengumpulan data di 9 apotik Kabupaten Pelalawan
sangat bervariasi. Harga obat yang dijual rata-rata mengalami
kenaikan dari Harga Eceran Tertinggi apotik (HET). Tetapi ada juga
beberapa obat yang dijual dengan harga dibawah HET dari
Departemen Kesehatan. Obat yang harganya dijual diatas HET yang
paling tinggi yaitu Klorfeniramin Maleat (CTM) tablet dengan
kenaikan 515,4 %. Sedangkan Deksametason tablet dijual paling
rendah dibawah HET sampai 65,2%. Bahkan ada juga obat yang
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 9
harganya sesuai dengan HET yaitu Alopurinol, Digoksin dan Ranitidin.
Dari hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bagaimana cara
untuk menetapkan harga jual obat generik. Harga disepakati antara
apotiker pengelola apotik dengan pemilik sarana apotik kemudian
untuk selanjutnya dilaksanakan oleh asisten apotiker yang bertugas
melayani pasien.
Untuk meningkatkan keterjangkauan obat bagi masyarakat dalam
memperoleh obat yang murah, pemerintah mengeluarkan kebijakan
untuk menurunkan harga obat dan membuat aturan tentang harga jual
obat generik di apotik melalui SK Menteri Kesehatan Nomor
720/MENKES/SK/IX/2006 tentang Harga Obat Generik, tetapi
pada kenyataannya masih dijumpai adanya variasi dalam harga jual
obat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam penghitungan
persentase keuntungan yang diambil oleh pihak apotik sehingga
terjadi perbedaan harga jual obat di masing-masing apotik.
Sedangkan obat yang paling tinggi kenaikannya adalah CTM
mencapai 515,14% dikarenakan harga dasarnya yang sangat
rendah dan obat yang mudah diperoleh. Obat yang dijual di bawah
HET dengan penurunan 65,2% adalah Deksametason tablet hal ini
disebabkan oleh harga beli obat di distributor juga lebih murah di
samping penurunan harga ini tidak mempengaruhi keuntungan apotik
secara signifikan. Selain itu obat yang diturunkan harganya di bawah
HET berperan sebagai penyeimbang dari obat yang dinaikkan
harganya.
Harga yang terjangkau merupakan suatu hal yang penting untuk
menjamin akses obat esensial di sektor pemerintah dan sektor swasta.
Keterjangkauan adalah komponen kebijakan obat nasional yang
membutuhkan dukungan politik dan legislatif yaitu dalam hal
mengurangi pajak impor obat esensial, kebijakan harga obat,
kebijakan obat generik dan substitusi obat generik dan persamaan
harga14. Adanya perbedaan harga jual obat generik pada apotik
disebabkan oleh karena apotik dapat menentukan harga obat secara
bebas atas berbagai pertimbangan bahwa harga jual obat
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata10 n
ditentukan oleh provider secara bebas. Dengan demikian harga obat
di tingkat pengecer seperti di apotik akan di pengaruhi oleh faktor
besarnya marjin ataupun biaya operasional lainnya yang diambil
oleh provider apotik15. Selain itu terjadinya variasi-variasi harga
tersebut dapat disebabkan oleh ; pertama, komponen pembentuk
harga obat Setiap perusahaan farmasi mempunyai komponen
pembentuk harga obat yang berbeda. Pada prinsipnya ada
beberapa komponen yang dapat membentuk harga obat yaitu (a)
biaya langsung, merupakan biaya langsung yang terkait dengan
proses produksi, meliputi biaya bahan baku obat dan bahan
tambahannya, biaya produksi dan biaya distribusi. (b) biaya tidak
langsung, merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menunjang proses
produksi yaitu biaya untuk keuntungan (marginal cost) biaya
administrasi, misalnya biaya untuk pendaftaran dan biaya promosi. (c)
kemasan, obat nama dagang mengutamakan keindahan dalam
penampilannya16 , karena itu kemasan merupakan elemen terbesar
dalam strategi pemasaran dari suatu produk meskipun akan
menambah biaya produk tersebut15. Perbedaan biaya produksi dapat
menimbulkan perbedaan harga sejenis sampai 20 kali3. Kedua,
Distributor. Faktor lain yang menyebabkan mahalnya harga obat
adalah panjangnya rantai distribusi17. Distributor merupakan mata
rantai penyalur produk obat dan alat kesehatan terbesar di
Indonesia. Keberadaan distributor di suatu daerah ikut serta dalam
mencukupi ketersediaan obat. Keberadaannya juga akan
berpengaruh terhadap harga jual obat jika provider kesulitan dalam
memperoleh obat dari distributor. Hal ini biasanya terjadi disebabkan
kebanyakkan distributor berada di luar kota yang mengakibatkan
pemesanan obat memerlukan waktu yang lama dan tambahan biaya,
seperti pemesanan melalui telepon atau faksimili. Bagi apotik tentu
saja biaya ini akan ditambahkan pada biaya belanja pengadaan
obat sehingga dapat meningkatkan harga jual obat tersebut.
Ketiga, metoda pengadaan dan marjin. Pengadaan obat dapat
dilakukan dengan cara pembelian dalam jumlah besar atau dalam
jumlah kecil. Hal ini sangat tergantung pada ketersediaan dana
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 11
apotik. Metoda pengadaan obat juga dapat berpengaruh pada
harga jual obat. Jika pengadaan obat dilakukan dengan pembelian
obat dalam jumlah besar, kemungkinan ada kondisi diskon oleh
distributor, sehingga harga obat dapat ditekan lebih rendah(16).
Besarnya marjin yang diambil apotik bisa saja pertimbangan harga
dasar obat memang sudah rendah sehingga memperbesar marjin
untuk mendapat keuntungan yang lebih. Dalam hal ini seringkali
provider kurang memperhatikan etika bisnis. Bisnis yang baik adalah
bisnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika seperti pertimbangan
benar-salah, baik-buruk, adil-tidak adil, jujur-tidak jujur dan
sebagainya. Untuk obat generik pemerintah telah menetapkan
patokan harga jual tertinggi yang dengan sendirinya membatasi
marjin tertinggi. Meskipun begitu masih terdapat harga jual oabt
generik yang melewati batas harga yang telah ditetapkan
pemerintah. Keempat, Penawaran dan Permintaan. Seperti halnya
harga barang dan jasa, maka dalam hal ini obat sebagai barang
ekonomis yang tersedia di apotik dapat juga dipengaruhi oleh
penawaran dan permintaan (supply and demand). Jika penawaran
barang tetap atau berkurang sedangkan permintaan meningkat,
maka akan terjadi kenaikan harga. Demikian pula sebaliknya jika
jumlah permintaan barang dan jasa menurun sedangkan jumlah
penawaran tetap maka akan berakibat menurunnya harga barang
dan jasa18. Harga suatu barang termasuk harga obat sangat
dipengaruhi oleh adanya kompetisi harga di pasar, karena dengan
meningkatnya kompetisi antar supplier biasanya terdapat harga yang
rendah16. Banyaknya jumlah dan jenis produk obat yang berbeda
juga meningkatkan kompetisi tersebut dan banyaknya permintaan
barang dan jasa dalam ilmu ekonomi akan mempengaruhi harga
barang dan cenderung meningkat18. Dengan meningkatnya kompetisi
akan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat16.
Implementasi pricing policy sebagai strategi kunci kebijakan obat
nasional memerlukan status informasi sektor obat yang baik, belanja
obat publik total dan nilai total produksi lokal yang terjual di dalam
negeri menentukan secara spesifik capaian implementasi kebijakan
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata12 n
harga. Pada sisi lain juga diperlukan dukungan jumlah asisten apotiker
dan apotiker yang memadai. Selain itu implementasi kebijakan harga
juga memerlukan kapasitas sistem farmasetika yang baik khususnya
komponen struktur kebijakan harga itu sendiri11. Harga jual obat
generik yang bervariasi di apotik kabupaten Pelalawan menunjukkan
kurangnya peran pemerintah sebagai regulator, terutama dalam hal
teknis yang bertanggungjawab mengenai masalah kesehatan di
kabupaten adalah Dinas Kesehatan Kabupaten. Untuk itu di masa
otonomi daerah sekarang ini perlu ditingkatkan peran pemerintah
terutama yang memegang peran kunci agar dapat meningkatkan
efisiensi pelayanan kesehatan. Ada beberapa cara yang dapat
ditempuh pemerintah daerah dalam meningkatkan peran tersebut
yaitu dengan edukasi, manajerial dan regulasi. Cara edukasi dapat
ditempuh dengan pemberian informasi dan komunikasi melalui media
massa, brosur-brosur dan pendidikan formal atau pendidikan lanjutan.
Cara kedua yaitu dengan manajerial, melalui penerapan peraturan
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), pengadaan dan distribusi,
formularium dan keuangan. Dan cara regulasi dapat dilakukan
dengan pengawasan, promosi, audit preskripsi serta layanan
farmasi19.
Daya Beli Masyarakat. Dari hasil wawancara dengan pasien dapat
diketahui bahwa pasien mempunyai daya beli terhadap obat generik
yang dijual di apotik Kabupaten Pelalawan. Menurut informan harga
obat generik yang dijual harganya murah dan dapat terjangkau oleh
masyarakat. Secara sederhana harga obat diartikan sebagai titik
temu antara kemampuan penawaran produsen dan kemampuan
permintaan konsumen. Harga obat setidak-tidaknya dipengaruhi oleh
empat unsur yang merupakan sub sistem yang saling mempengaruhi
sebagai satu kesatuan; yaitu konsumen yang menghendaki harga obat
terjangkau oleh daya belinya; produsen yang menginginkan tingkat
harga tertentu sebagai jaminan untuk kelanjutan usahanya; pihak
profesi (dokter dan apotiker) yang bertujuan untuk mengamalkan
ilmunya pada masyarakat; serta pemerintah yang berkewajiban
memperhatikan kepentingan masyarakat secara seimbang bagi semua
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 13
pihak20. Dalam pemasaran perlu diketahui mengenai potensi dan
daya beli konsumen. Daya beli konsumen merupakan fondasi
terpenting dari sebuah pangsa pasar dan juga sebagai salah satu
kunci kesuksesan sebuah penjualan. Daya beli merupakan elemen
pokok dari permintaan. Kalau untuk maksud pemasaran, kalau
konsumen tidak mempunyai daya beli untuk memperoleh kebutuhan
dan keinginannya dipandang tanpa guna. Tanpa orang mempunyai
uang atau mampu untuk memperoleh produk, seseorang tidak dapat
dipandang sebagai langganan yang potensial10.
Kesimpulan
Kesimpulan
Pelaksanaan kebijakan harga obat generik di apotik Kabupaten
Pelalawan sudah baik. Akses obat generik oleh pasien dengan resep
yang terlayani 99,3%, resep yang tidak terlayani 0,7% dan resep
yang diganti 0,5%. Tingkat ketersediaan obat generik di apotik
Kabupaten Pelalawan untuk obat indikator (obat yang paling banyak
di gunakan) berada dalam kategori kurang yaitu 4-7,3 bulan. Obat
yang kadaluarsa terdapat di 2 buah apotik yaitu di apotik PM (0,7%)
dan di Apotik KH (2%). Obat yang rusak tidak terdapat pada semua
apotik di Kabupaten Pelalawan. Terdapat 8 buah apotik mengalami
kekosongan obat generik mulai dari 3 sampai 90 hari. Harga jual
obat generik di Kabupaten Pelalawan diatas HET, paling tinggi CTM
tablet dengan kenaikan 515,4%. Sedangkan Deksametason tablet
dijual paling rendah dibawah HET sampai 65,2%. Bahkan ada juga
obat yang harganya sesuai dengan HET yaitu Alopurinol, Digoksin dan
Ranitidin. Masyarakat mempunyai daya beli terhadap obat generik
yang dijual di apotik.
Saran
Apotik diharapkan menyediakan jenis obat generik lebih banyak,
sehingga masyarakat lebih mudah untuk mengakseskannya. Dinas
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata14 n
Kesehatan Kabupaten Pelalawan perlu meningkatkan pengawasan
dan pemantauan ketersediaan dan harga obat generik di apotik.
Selain itu perlu diberi sanksi (peringatan sampai penutupan usaha)
terhadap apotik yang tidak menyediakan obat generik dan
memberikan reward (penghargaan) bagi apotik yang banyak
menyediakan dan melayani obat generik Apotik dalam melakukan
perencanaan obat harus didasarkan pada tingkat ketersediaan dan
pemakaian obat. Apotik diharuskan memiliki gudang khusus tempat
penyimpanan stok obat. Penyimpanan obat harus disesuaikan dengan
jenis dan sifat obat, seperti di dalam freezer (suppositoria) ataupun
lemari khusus (Narkotika dan Psikotropika). Dalam penyusunan
kebijakan harga obat harus melibatkan pihak produsen dan
distributor sehingga ada komitmen yang kuat untuk melaksanakan
kebijakan tersebut sehingga tidak dijumpai obat yang tidak beredar
di pasar. Apotik menjual obat generik dengan harga yang sesuai
peraturan perundang-undangan. Perlu disediakan daftar harga obat
generik yang dapat dilihat oleh pasien ketika membeli obat pada
masing-masing apotik. Daya beli masyarakat terhadap obat generik
perlu dipertahankan dengan memberikan informasi tentang obat
generik secara terus-menerus kepada masyarakat.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI, (2006), Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI No 189/MENKES/SK/III/2006 Tentang Kebijakan
Obat Nasional, Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2. Sampurno, (2001), Reformasi Sektor Obat dan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Disampaikan dalam ”Seminar Kebijakan Obat
Nasional dalam Otonomi Daerah”, Magister Manajemen dan
Kebijakan obat UGM, Yogyakarta.
3. Azis, S., Sasanti , R.H., Herman, M.J., (2000), Analisis Komponen
Harga Obat, Buletin Penelitian Kesehatan, 28 (1), hal. 399-408.
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan 15
4. Supardi, S., (2005), Pendapat Dokter Praktek di Samping Apotik
terhadap Obat Generik, Cermin Dunia Kedokteran, hal.38-41.
5. Pratiknya, W., A., 2007, Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
6. Mustika, D., Danu, S.S., Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pascaotonomi Daerah,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 07 (04), hal. 219-224.
7. Dwiprahasto, I., (2004), Ketersediaan Obat di Kabupaten dan
Mutu Peresepan di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer, Berkala
Ilmu Kedokteran, 36 (2), hal. 89-96.
8. Babar, Z., Ibrahim, M.I., Singh, H., Bukahri, N.I., Creese, A., (2007),
Evaluating Drug Prices, Avaibility, Affordability and Price
Component : Implication for access to Drugs In Malaysia, Plos
Medicine 4(3): 82. Available from:
9. Annisa, E. dan Suryawati, S., (2001), Pengaruh Ketersediaan Dana
Kontan terhadap Pengadaan dan Penggunaan Obat Tingkat
Puskesmas, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 04 (01), hal.
53-61.
10. Anief, M., (2000), Prinsip dan Dasar Manajemen Pemasaran Umum
dan Farmasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
11. Sjabana, D., Suryawati, S., (2004), Penggunaan Indikator WHO
untuk Memonitor Implementasi Kebijakan Obat Nasional (
Hubungan antara Karakter Negara dan Indikator Latar Belakang,
Struktur, Proses dan Keluaran), Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 07 (02, hal. 69-73.
12. Departemen Kesehatan RI, (2006), Pedoman Supervisi dan Evaluasi
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
13. Istinganah, Danu,S.S., Santoso, A.P., (2006), Evaluasi Sistem
Pengadaan Obat dari Dana APBD Tahun 2001-2003 Terhadap
Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehata16 n
Ketersediaan dan Efisiensi Obat, Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 09 (01), hal. 31-41.
14. WHO, (2001), How to Develop and Implement a National Drug Policy
Second Edition, Author, Genewa.
15. Kotler, P., Ang, S.H., Leong, S.M., dan Tan, C.T., (1996) Marketing
Management, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
16. Quick, J.D., Hume, M.L., Rankin, J.R., O΄Connor, R.W., (1997), Managing
Drug Supply, 2nd Ed, Revised and Expanded, Kumarin Press,
West Harford.
17. Priyanto, (1995), Setahun Setelah Pakto, Mungkinkah Harga Obat
Turun?, Medika, 2, hal.100-101.
18. Mulyadi, (2001), Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat dan
Rekayasa, Edisi 3, Yogyakarta: Salemba Empat.
19. Purwaningsih, S., Suryawati, S., Sunartono, (2003), Evaluasi
Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No.
14/2000 terhadap ketersediaan Obat di Puskesmas, Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 06 (01), hal. 29-34.
20. Supardi, S., (1989), Pendapat Dokter Praktek di Samping Apotik
terhadap Obat Generik, Cermin Dunia Kedokteran, hal.38-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar