Jumat, 23 Oktober 2009

SIFILIS,CMV,RUBELLA,HERPES

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
SIFILIS
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa. (William, 2000)


















RUBELLA
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25%. Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium. (America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981)








CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini termasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu hamil terinfeksi, maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, pengkapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. (Anonim, 2001)








HERPES
Herpes yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) adalah sejenis penyakit yang menjangkiti mulut, kulit, dan alat kelamin. Penyakit ini menyebabkan kulit melepuh dan terasa sakit pada otot di sekitar daerah yang terjangkit. Hingga saat ini, penyakit ini masih belum dapat disembuhkan, tetapi dapat diperpendek masa kambuhnya. (Anonim, 2004)







B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah sebagai berikut :CYTOMEGALOVIRUS
1. Untuk memahami Cytomegalovirus
2. Untuk mengetahui Klasifikasi Virus
3. Untuk memberitahukan Karakteristik CMV
4. Untuk memahami Pathofisiologi
5. Untuk memahami Patogenesis
6. Untuk mengetahui Penyakit yang Berhubungan
7. Utuk mengetahui Gejala dan Tanda-tanda
8. Untuk mengetahui Diagnosis
9. Untuk Mengetahui Terapi dan Pencegahan
SIFILIS KONGENITAL
10. Untuk mengetahui Definisi Sifilis Kongenital
11. Untuk Mengetahui Epidemiologi Sifilis Kongenital
12. Untuk mengetahui Etiologi Sifilis Kongenital
13. Untuk memahami Klasifikasi Sifilis Kongenital
14. Untuk Mengetahui Patogenesis Sifilis Kongenital
15. Untuk mengetahui Gambaran Klinis Sifilis Kongenital
16. Untuk mengetahui Diagnosis Sifilis Kongenital
17. Untuk Memahami Pemeriksaan Penunjang Sifilis Kongenital
18. Untuk menegtahui Penatalaksanaan Pada Sifilis Kongenital
19. Untuk menegtahui Pengobatan Sifilis Kongenital Menurut Cdc Tahun 1998
20. Untuk mengetahui Pengobatan alternatif untuk pasien alergi penisilin
21. Untuk mengetahui Pemeriksaan Setelah Pengobatan
22. Untuk mengetahui Diagnosis Banding Sifilis Kongenital
23. Untuk mengetahui Pencegahan Sifilis Kongenital
24. Untuk Mengetahui Prognosis Sifilis Kongenital
PENYAKIT CACAR AIR (HERPES)
25. Untuk mengetahui Definisi Penyakit cacar ( herpes )
26. Untuk mengetahui Cara Penularan Penyakit Cacar ( Herpes )
27. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Penyakit Cacar ( Herpes )
28. Untuk mengetahui Penanganan dan Pengobatan Penyakit Cacar ( Herpes )
RUBELLA
29. Untuk mengetahui Definisi Virus Rubella
30. Untuk mengetahui Sejarah Epidemi
31. Untuk mengetahui Penyebaran
32. Untuk mengetahui Gejala klinis
33. Untuk mengetahui Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori
34. Untuk mengetahui Diagnosis
35. Untuk mengetahui Pencegahan













BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Cytomegalovirus
Cytomegalovirus atau disingkat CMV merupakan anggota “keluarga” virus herpes yang biasa disebut herpes viridae. CMV sering disebut sebagai “virus paradoks” karena bila menginfeksi seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga hanya diam di dalam tubuh penderita seumur hidupnya. Pada awal infeksi, CMV aktif menggandakan diri. Sebagai respon, system kekebalan tubuh akan berusaha mengatasi kondisi tersebut, sehingga setelah beberapa waktu virus akan menetap dalam cairan tubuh penderita seperti darah, air liur, urin, sperma, lendir vagina, ASI, dan sebagainya. Penularan CMV dapat terjadi karena kontak langsung dengan sumber infeksi tersebut, dan bukan melalui makanan, minuman atau dengan perantaraan binatang. Cytomegalovirus juga jarang ditemukan pada trasfusi darah. (Anonim, 2001)
1. Klasifikasi Virus
Group : Group I (dsDNA)
Family : Herpesviridae
Genus : Cytomegalovirus
(HHV5)
Dimensi 100-200 nm
2. Karakteristik CMV
Karakteristik CMV adalah sebagai berikut: termasuk famili Herpesvirus, diameter virion 100-200 nanomikron, mempunyai selubung lipoprotein(envelope), bentuk ikosahedral nukleokapsid, dengan asam nukleat berupa DNA double-stranded. Nama "Cytomegalo" mengacu pada ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam nukleusnya, dijumpai inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata burung hantu (owl’s eye). Cytomegalovirus dapat dipisahkan dari virus herpes lainnya dengan menggunakan perangkat biologi seperti jenis semang dan jenis sitopatologi yang ditimbulkan. Pembelahan virus dihubungkan dengan produksi inklusi intranukleus yang besar dan inklusi intrasitoplasma yang lebih kecil. Masih belum jelas apakah Cytomegalovirus bersifat onkogenik dalam tubuh. CMV cepat menyebar biasanya melalui berbagai macam cairan tubuh orang yang telah terinfeksi CMV, seperti contohnya air seni, air liur, darah, air mata, mani, dan air susu ibu. Penyebaran virus ini dapat berlangsung tanpa adanya gejala-gejala klinis terlebih dahulu. Penularan dapat juga terjadi diantara ibu dengan janin dan pada transfuse organ atau cangkok pada bagian badan tertentu. (Anonim, 2001)
3. Pathofisiologi
CMV merupakan virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vivo dan in vitro.tanda patologi dari infeksi CMV adalah sebuah pembesaran sel dengan tubuh yang terinfeksi virus. Sel yang menunjukan cytomegalyovirus biasanya terlihat pada infeksi yang disebabkan oleh betaherpes virinae lain. meskipun berdasarkan pertimbangan diagnosa, penemuan histological tersebut kemungkinannya minimal atau tidak ada pada organ yang trinfeksi. Ketika inang telah terinfeksi, DNA CMV dapat di deteksi oleh polymerase chain reaction (PCR) di dalam semua keturunan sel atau dan sistem organ didalam sistem tubuh.pada permulaannya, CMV menginfeksi sel epitel dari kelenjar saliva, menghasilkan infeksi yang terus menerus dan pertahanan virus.infeksi dari sistem genitif memberi kepastian klinik yang tidak konsekuen.meskipun replikasi virus pada ginjal berlangsung terus-menerus,disfungsi ginjal jarang terjadi pada penerima transplantasi ginjal. (Anonim, 2001)
4. Patogenesis
Infeksi bawaan Cytomegalovirus dapat terjadi karena infeksi primer atau reaktivasi dari ibu. Namun, penyakit yang diderita janin atau bayi yang baru lahir dikaitkan dengan infeksi primer ibu. Infeksi primer pada usia anak atau dewasa lebih sering dikaitkan dengan respon limfosit T yang hebat. Respon limfosit T dapat mengakibatkan timbulnya simdroma mononukleosis yang serupa seperti dialami setelah infeksi virus Epstein-Barr. Tanda khas infeksi ini adalah adanya limfosit atipik pada darah tepi. Sekali terkena, selama masa simtomatis infeksi primer, cytomegalovirus menetap pada jaringan induk semangnya. Tempat infeksi yang menetap dan laten melibatkan bermacam sel dan organ tubuh. Penularan transfusi darah atau transplantasi organ berkaitan dengan infeksi terselubung dalam jaringan ini. Penelitian bedah mayat menunjukan kelenjar liur dan usus merupakan tempat terdapat infeksi yang laten. Stimulasi antigen kronis (seperti yang timbul setelah transplantasi organ) disertai melemahnya sistem imun merupakan keadaan yang paling sesuai untuk pengaktifan Cytomegalovirus dan penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus. Cytomegalovirus dapat menyebabkan respons limfosit T yang lemah, yang sering kali mengakibatkan superinfeksi oleh kuman oportunistik. Cytomegalovirus juga dapat mejadi factor pembantu dalam mengaktifkan infeksi laten HIV. (Anonim, 2001)
5. Penyakit yang Berhubungan
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovius adalah CMV retinitis. ini mempengaruhi mata yang menyebabkan kerusakan retina.kemungkinan dari perkembangan CMV retinitis meningkat, jumblah dari sel CD4 berkurang.CMV retinitis mungkin mempengaruhi salah satu mata terlebih dahulu, tetapi biasanya berlanjut ke mata yang satunya dan menjadi bertambah buruk seiring dengan menurunnya kemampuan pasien melawan infeksi tersebut. Virus tersebut sedang mengancam dan biasanya meminta perhatian dan perawatan dari ahli bedah mata.pasien dengan CMV retinitis beresiko untuk kehilangan retina, pendarahan, dan peradangan pada retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen dan menjadi buta. (Anonim, 2001)
6. Gejala dan Tanda-tanda
CMV retinitis biasanya menimbulkan gejala, tetapi jarang. Pasien dengan kondisi sistem imun tertekan harus memperhatikan gejala-gejala pada meta berikut selama perawatan:
a. Kehilangan penglihatan tiba-tiba
b. Penglihatan menjadi kabur
c. Bintik buta
d. Sorotan cahaya
7. Diagnosis
Sebagian besar pasien dengan CMV retinitis membutuhkan terapi mata oleh seorang ahli. Seorang ahli bedah mata mendiagnosa CMV retinitis dengan sepenuhnya memeriksa bagian belakang mata menggunakan ophthalmoscopy. Fluorescein angiography mungkin dibutuhkan untuk mengevaluasi system sirkulasi retina. (Anonim, 2001)
8. Terapi dan Pencegahan
Obat-obat spesifik yang memberikan harapan untuk terapi pada penyakit CMV adalah:
a. Ganciclovir (D H P G – dihydroxy – 2 propoxy methyl – guarine)
Dosis intravena: 5 - 7,5 mg per kg berat badan
Dosis oral: untuk dewasa: 3 x 1 gr atau 6 x 500 mg
Aktivitas anti virus dari ganciclovir adalah dengan menghambat sintesa DNA.
b. Foscarnet (Fosfonoformate)
Dosis intravena: 60 – 90 mg/kg BB/hari
c. Imunoglobulin yang mengandung titer antibodi anti CMV yang tinggi
d. Valaciclovir dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksi untuk penyakit
akibat infeksi CMV pada individu dengan imunokompromais. Vaksin Cytomegalovirus hidup telah dikembangkan melalui pasase yang diperluas dalam sel manusia dan telah mengalami beberapa percobaan klinik pendahuluan. Berbeda dengan infeksi alamiah, penyebaran virus maupun reaktivasi infeksi laten telah dapat dideteksi dengan virus vaksin. Namun, penggunakan vaksin hidup Cytomegalovirus masih terus diperdebatkan karena keamanannya. Pendekatan lain terhadap imunisasi (tidak menggunakan virus hidup) melibatkan penggunakan polipeptida cytomegalovirus yang dimurnikan untuk menginduksi antibodi neutralisasi. (Anonim, 2001)


B. Sifilis kengenital
1. Definisi Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibunya yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan. Dahulu dianggap infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata dengan mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu. Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun pertama kehidupan anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut. (Murtiastuti D,2008)
2. Epidemiologi Sifilis Kongenital
Sifilis terdistribusi di seluruh dunia, dan merupakan masalah yang utama pada Negara berkembang. Dilihat dari usia, kasus sifilis banyak ditemukan pada orang dengan rentang usia 20-30 tahun. Empat puluh persen wanita hamil dengan sifilis dini yang tidak diobati, akan mengakibatkan penularan pada janin. (Murtiastuti D,2008)
3. Etiologi Sifilis Kongenital
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Shaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae dan genus treponema. Bentuk seperti spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri 4 dari delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfuse dapat hidup tujuh puluh dua jam. Penularan sifilis dapat melalui cara sebagai berikut :
a. Kontak langsung :
 sexually tranmited diseases (STD)
 non - sexually
 Transplasental, dari ibu yang menderita sifilis ke janin yang dikandungnya.
b. Transfusi darah
4. Klasifikasi Sifilis Kongenital
Menurut World Health Organization (WHO) secara garis besar sifilis dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Sifilis kongenital (bawaan)
b. Sifilis akuisita (didapat)
c. Sifilis kongenital dini (timbul pada umur kurang dari 2 tahun)
d. Sifilis kongenital lanjut/ tarda (timbul setelah umur lebih dari 2 tahun). (Murtiastuti D,2008)
5. Patogenesis Sifilis Kongenital
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian besar kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Resiko sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan. Lesi sifilis congenital biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan inutero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion. Treponema pallidum melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar ke seluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau terjadi gangguan pertumbuhan pada berbagai tingkat kehidupan intrauterine maupun ekstrauterin. (Murtiastuti D,2008)
6. Gambaran Klinis Sifilis Kongenital
Berdasarkan gambaran klinisnya, sifilis kongenital dapat dibagi menjadi sifilis congenital dini, sifilis kongenital lanjut dan stigmata. Dianggap sifilis kongenital dini jika timbul pada anak di bawah usia 2 tahun dan sifilis kongenital lanjut bila timbul di atas 2 tahun. Sigmata adalah jaringan parut atau deformitas yang terjadi akibat penyembuhan dua stadium tersebut.
a. Sifilis kongenital dini
Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervariasi, mengenai berbagai organ dan menyerupai sifilis stadium II. Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pula kelainan ada sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa kondisi berikut :
1) Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
2) Kelainan membrane mukosa :
Mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer tetapi kemudian menjadi pekat, purulen dan hemoragik. Hidung menjadi tersumbat sehingga menyulitkan pemberian makanan.
3) Kelainan kulit, rambut dan kuku
Dapat berupa makula eritem, papula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Makula, papula atau papulomatous tersebar secara generalisata dan simetris. Di daerah yang lembab papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi hipertrofik (kondilomalata). Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput terutama pada daerah muka sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan kaku, alopesia areata terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga mengenai alis dan bulu mata. Onikosifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada dasar kuku dan menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna suram, tidak teratur dan menyempit pada bagian dasarnya.
4) Kelainan tulang
Pada 6 bulan pertama, osteokondritis, periostitis, dan osteitis pada tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas. Perubahan yang paling mencolok tampak pada daerah pertumbuhan tulang di dekat epifisis. Epifisis membesar, garis epifisis melebar dan tidak teratur. Pada batas metafisis dengan garis kartilago epifisis, tampak daerah kalsifikasi yang densitasnya meningkat dan tidak teratur sehingga pemeriksaan sinar X memberikan gambaran seperti gigi gergaji. Pseudoparalisis pada anggota gerak disebabkan oleh pembengkakan periartikular dan nyeri pada ujung-ujung tulang sehingga gerakan menjadi terbatas. Osteokondritis dapat dilihat pada pemeriksaan dengan sinar X setelah 5 minggu sedangkan periostitis setelah 16 minggu. Tanda-tanda osteokondritis menghilang setelah 6 bulan tetapi periostitis menetap dan menjadi lebih jelas.
5) Kelainan kelenjar getah bening : terdapat limfadenopati generalisata
6) Kelainan alat-alat dalam : hepatomegali, splenomegali, nefritis, nefrosis, pneumonia
7) Kelainan mata : Korioretinitis, glaukoma dan uveitis
8) Kelainan hematologi : anemia, eritroblastemia, retikulositosis, trombositopenia, diffuse intravascular coagulation (DIC)
9) Kelainan susunan saraf pusat : meningitis sifilitika akut yang bila tidak diobati secara adekuat akan menimbulkan hidrosefalus, kejang dan mengganggu perkembangan intelektual. (Murtiastuti D,2008)
b. Sifilis kongenital lanjut
Sifilis ini biasanya timbul setelah umur 2 tahun, lebih dari setengah jumlah penderita tanpa manifestasi klinik, kecuali tes serologis yang reaktif. Titer serologis sering berfluktuasi, sehingga jika dijumpai keadaan demikian, dapat diduga suatu sifilis kongenital. Gambaran klinis dari sifilis kongenital dapat di bedakan dalam 2 tipe :
1) Inflamasi sifilis kongenital lanjut
Pada keadaan ini yang paling penting adalah adanya lesi kornea, tulang, dan sistem saraf pusat. Dapat dijumpai kelainan sebagai berikut :
a) Kornea : Keratitis Intersisial
Biasanya terjadi pada umur pubertas, dan terjadi bilateral. Pada kornea timbul pengaburan menyerupai gelas disertai vaskularisasi sklera. Keadaan ini dimulai dengan peradangan perikorneal berat dan kemudian berlanjut dengan perselubungan difusi kornea oleh bayangan putih tanpa adanya ulserasi pada permukaan kornea, terjadi pada 20-50 % kasus sifilis kongenital lanjut.
b) Tulang : Perisynovitis (Clutton’s joint)
Mengenai kedua lutut, yang akan mengakibatkan terjadinya bengkak tanpa nyeri yang simetris.
c) Sistem saraf pusat
Lesi pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada sifilis kongengital lanjut. Biasanya yang menjadi tanda lesi SSP pada sifilis kongenital adalah dengan adanya kelemahan umum (generalized paresis) dan renjatan.
2) Stigmata sifilis kongenital
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian disebut dengan stigmata sifilis kongenital, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. Ditemukannya stigmata ini dapat menjadi salah satu pegangan unuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital. Pada stigmata sifilis kongenital, hal penting yang perlu diperhatikan adalah adanya trias Hutchinson, yaitu :
a) Perubahan pada gigi insisivus menjadi datar dan seperti gergaji
b) Opasitas kornea (kornea ditutupi kabut berwarna putih) tanpa ulserasi permukaan kornea.
c) Ketulian karena ganguan nervus akustikus (N.VIII). Ketulian biasanya terjadi mendekati masa pubertas, tetapi kadang-kadang terjadi pada umur pertengahan. Selain itu ditemukan pula kelainan sebagai berikut :
• Neurosifilis
Dapat juga menunjukkan kelainan seperti manifestasi sifilis yang didapat. Tabes dorsalis agak jarang dibandingkan dengan sifilis yang didapat, paresis lebih sering terjadi dibandingkan dengan sifilis yang didapat, paresis lebih sering terjadi dibandingkan pada orang dewasa. Kejang juga sering terjadi pada kasus sifilis kongenital ini.
• Tulang dan palatum
Terjadi sklerosis, sehingga tulang kering menyerupai pedang (sabre), tulang frontal yang menonjol, atau dapat juga terjadi kerusakan akibat gumma yang menyebabkan destruksi terutama pada septum nasi atau pada palatum durum. Perforasi palatum dianggap terjadi pada sifilis kongenital. ( Andrews,2001)
• Gigi molar Mulberry (Mulberry’s molar)
Biasanya pada molar I dan muncul pada usia 6 tahun, merupakan gambaran gigi yang hiperplastik dengan permukaan oklusal yang mendatar (flattening) serta diliputi oleh serbukan yang menandakan kerapuhan gigi.
• Sifilis rinitis infantil dan nasal chondritis.
Fisura di sekitar rongga mulut dan hidung disertai ragade yang disebut sifilis rhinitis infantil. Nasal chondritis merupakan kelainan yang disebabkan oleh pendataran tulang pembentuk hidung, gambaran ini biasa disebut dengan saddle nose. ( Andrews,2001)
7. Diagnosis Sifilis Kongenital
Diagnosis pasti pada sifilis kongenital ditegakan dengan identifikasi Treponema pallidum. Selain itu, sifilis kongenital dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan antepartum dan pada bayi lahir mati. Untuk pemeriksaan pada janin dapat digunakan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan USG dapat dijumpai penebalan kulit, penebalan plasenta, hepatosplenomegali dan hidramnion. Pemeriksaan ini dilengkapi dengan pemeriksaan cairan amnion untuk mencari adanya treponema. Identifikasi Treponema pallidum dengan pemeriksaan mikroskop lapagan gelap atau imunofluoresensi dapat dilakukan apabila dijumpai secret hidung, mucous patches, lesi vesiko bulosa atau kondiloma lata. Namun, cara konvensional untuk pengambilan specimen tidak sensitive dan merupakan prosedur invasive, sehingga sulit dilakukan dan hanya dilakukan pada bayi dengan lesi luas. Selain itu, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan identifikasi Treponema pallidum sulit dilakukan untuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital, yaitu :
• Treponema pallidum bersifat tidak dapat dibiakkan dan sulit ditemukan pada spesmen klinis
• Analisis serologic pada bayi rumit oleh adanya antibody maternal yang didapat transplasental. Sebagian besar bayi sakit yang hidup tidak menunjukkan adanya tanda infeksi. Untuk menegakkan diagnosis klinis sifilis kongenital, saat ini di AS digunakan dua kriteria, yaitu kriteria dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang direvisi dan kriteria Kaufman yang dimodifikasi.
( Andrews,2001)
a. Kriteria Kaufman yang dimodifikasi.
1) Pasti (definite)
Dijumpai Treponema pallidum pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan histologik.
2) Sangat Mungkin (probable)
a) Peningkatan titer VDRL dalam waktu 3 bulan atau tes serologic untuk sifilis (TSS) reaktif yang tidak berubah menjadi non reaktif dalam waktu 4 bulan
b) Satu kriteria mayor atau dua minor dan disertai TSS reaktif atau tes FTA reaktif
c) Satu kriteria mayor dan satu kriteria minor
Kriteria mayor berupa kondiloma lata, osteokondritis, periostitis, rhinitis, rhinitis hemoragik. Kriteria minor berupa fisura pada bibir, lesi kulit, mucous patch, hepatomegali, splenomegali, limfadenopati generalisata, kelainan SSP, anemia hemolitik, sel cairan serebrospinal (CSS) >20, protein > 100. (Andrews,2001)
b. Kriteria CDC yang di revisi
1) Pasti (confirmed)
Diijumpai Treponema Pallidum pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
2) Tersangka (presumtive)
Semua bayi yang ibunya menderita sifilis tanpa pengobatan atau mendapat pengobatan tidak adekuat selama kehamilan. Semua bayi dengan TSS reaktif dan satu dari keadaan di bawah ini :
a) Gambaran sifilis kongenital pada pemeriksaan fisik
b) VDRL CSS reaktif/ hitung sel CSS ≥ 5 / protein CSS ≥ 50 diluar sebab lain.
c) Tes FTA – abs - 19S-antibodi IgM reaktif
3) Bayi lahir mati (syphilitic stillbirth)
Kematian janin setelah umur kehamilan 20 minggu atau berat janin ≥500 gram padawanita yang menderita sifilis tanpa pengobatan atau memperoleh pengobatan tidak adekuat saat melahirkan. Di bawah ini terdapat petunjuk interpretasi hasil pemeriksaan serologik terhadap ibu dan bayinya

Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan serologik sifilis
Tes
nontreponemal
Ibu
Tes
nontreponemal
Bayi
Tes
treponemal
Ibu
Tes
treponemal
Bayi
Interpretasi

-


+





+










+





-
-


-





+
atau –









+





-
-


-





+










+





+

-


-





+










+





+
Ibu dan bayi tidak terinfeksi sifilis

Ibu tidak sifilis (tes-non-treponema positif palsu
dengan transfer pasif pada bayi)

Ibu sifilis dengan kemungkinan infeksi pada bayi;atau
ibu sudah di obati selama kehamilan: atau ibu sifilis
laten dengan kemungkinaninfeksi pada bayi.

Ibu baru saja atau pernah menderita sifilis;
kemungkinan infeksi pada bayi

Ibu dengan sifilis yang sudah berhasil diobati sebelum
atau pada awal kehamilan; atau ibu menderita
penyakit Lyme, yows atau pinta (positif palsu)

8. Pemeriksaan Penunjang Sifilis Kongenital
Diagnosis sifilis dapat dipastikan dengan menemukan Trepanoma pallidum sebagai penyebab infeksi dalam bahan sediaan klinis. Secara garis besar berupa pemeriksaaan mikroskopik dan serologik. Prosedur diagnostik yang dipakai untuk pemeriksaan sifilis sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang spesifik terhadap subspesies, karena secara morfologik, serologik, dan kimiawi Trepanoma pallidum tidak dapat dibedakan dari subspesies pertenue, endemicum, dan Trepanoma carateum. Sebagai pembantu penegakan diagnosis adalah :
a. Pemeriksaaan Trepanoma pallidum
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil serum yang bebas dari sel darah merah dan sisa- sisa jaringan yang berasal dari lesi, untuk melihat bentuk dan pergerakan Trepanoma pallidum dengan mikroskop lapangan gelap.
Pengambilan spesimen :
1) Pada lesi sifilis, dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan garam faal steril, kemudian digosok sehingga kemerahan, dan segera menampung eksudat yang terbentuk pada gelas objek.
2) Spesimen dari lesi yang menyembuh, dikerok dengan skalpel atau ujung jarum.
3) Spesimen cair diperoleh dengan menyuntikkan larutan garam faal steril pada dasar lesi atau kelenjar getah bening yang kemudian disedot kembali. Hasil positif jika terlihat Trepanoma pallidum dengan gerakannya yang khas (memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan melintasi lapangan), secara morfologik berbentuk spiral dengan amplitudo 0,5-1 μm, berukuran panjang 6-14 μm, dan tebal 0,25- 0,30 μm Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut, jika hasil pada hari pertama dan kedua negatif. Bila terdapat hasil yang negatif bukan selalu diagnosisnya bukan sifilis. Kegagalan dapat terjadi karena umur atau kondisi lesi, pengobatan yang telah diberikan kepada pasien, atau teknik pengambilan spesimen dan pemeriksaan spesimen yang salah. (Hermawan,2003)
b. Tes Serologik Sifilis (TSS)
Hasil pada S I akan negatif (seronegatif), kemudian positif (seropositif) dengan titer rendah. Pada sifilis stadium II dini reaksi menjadi positif kuat, dan pada S II lanjut menjadi positif sangat kuat. Sedangkan pada S III reaksi akan menurun menjadi positif lemah atau negatif. Berdasarkan antigen yang dipakai, TSS dibagi menjadi :
1) Nontreponemal (tes reagin)
Menggunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiopilin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol. Contoh tes nontreponemal :
a) Tes Fiksasi Komplemen : Wasseman (WR), Kolmer.
b) Tes Flokulasi : VDRL (Veneral Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test).Tes yang dianjurkan adalah VDRL dan RPR secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/ Wasserman. Antigen VDRL adalah kardiopilin (0,03 %), kolesterol (0,9 %), dan lesitin (0,21 %). Tes VDRL dapat digunakan untuk penapisan atau screening dan untuk menilai hasil pengobatan. Hasil yang diberikan berupa reaktif, nonreaktif atau reaktif lemah, dan hasil kauntitatif dalam bentuk titer (1/2, 1/4, 1/8, dan seterusnya). Hasil pada sifilis stadium II dapat mencapai 1/64 atau 1/128. Pada tes flokulasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu banyak reagin, reaksi ini disebut dengan Reaksi Prozon, jika diencerkan dan diperiksa lagi maka hasilnya akan menjadi positif. (Hermawan,2003)
c. Treponemal
Bersifat spesifik karena antigen yang digunakan ialah treponema atau ekstraknya, dan dikelompokkan menjadi empat kelompok :
1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Immobilization Test).
2) Tes Fiksasi Komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test).
3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Test) Æ IgM dan IgG, FTA- Abs DS (Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Double Staining).
4) Tes Hemoglutinasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S IgM SPHA (Solid phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemaglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemaglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum). TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasil yang mudah, cukup spesifik dan sensitif, reaktifnya cukup dini. Kekurangan test ini adalah tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini dimulai dengan titer 1/ 80, 1/ 160, 1/ 320, dan seterusnya. Bila hasil serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut perlu diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. (Hermawan,2003)
9. Penatalaksanaan Pada Sifilis Kongenital
Pengobatan sifilis kongenital terbagi menjadi pengobatan pada ibu hamil dan pengobatan pada bayi. Penisilin masih tetap merupakan obat pilihan untuk pengobatan sifilis, baik sifilis didapat maupun sifilis kongenital. Pada wanita hamil, tetrasiklin dan doksisiklin merupakan kontraindikasi. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil belum ada data yang lengkap. Pengobatan sifilis pada kehamilan di bagi menjadi tiga, yaitu :
a. Sifilis dini ( primer, sekunder, dan laten dini tidak lebih dari 2 tahun ).
Benzatin penisilin G 2,4 juta unit satu kali suntikan IM, atau penisilin G prokain dalam aquadest 600.000 unit IM selama 10 hari.
b. Sifilis lanjut (lebih dari 2 tahun, sifilis laten yang tidak diketahui lama infeksi, sifilis kardiovaskular, sifilis lanjut benigna, kecuali neurosifilis) Benzatin penisilin G 2,4 juta unit, IM setiap minggu, selama 3 x berturut-turut, atau dengan penisilin G prokain 600.000 unit IM setiap hari selama 21 hari.
c. Neurosifilis
Bezidin penisilin 6-9 MU selama 3-4 minggu. Selanjutnya dianjurkan pemberian benzyl penisilin 2-4 MU secara IV setiap 4 jam selama 10 hari yang diikuti pemberian penisilin long acting, yaitu pemberian benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3 minggu, atau penisilin G prokain 2,4 juta unit IM + prebenesid 4 x 500 mg/hari selama 10 hari yang diikuti pemberian benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3 minggu. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi pada pengobatan sifilis congenital menurut CDC tahun 1998. pengobatan harus diberikan pada bayi :
1) Menderita sifillis kongenital yang sesuai dengan gambaran klinik, laboratorium dan/ radiologik,
2) Mempunyai titer test nontreponema ≥ 4 kali dibanding ibunya
3) Dilahirkan oleh ibu yang pengobatannya sebelum melahirkan tidak tercatat, tidak diketahui, tidak adekuat atau terjadi ≤ 30 hari sebelum persalinan.
4) Dilahirkan oleh ibu seronegatif yang diduga menderita sifilis
5) Titer pemeriksaan nontreponema meningkat ≥ 4 kali selama pengamatan.
6) Hasil tes treponema tetap reaktif sampai anak berusia 15 bulan, atau
7) Mempunyai antibodi spesifik IgM antitreponema.
Selain itu, juga dipertimbangkan pengobatan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita sifilis dan diobati selama kehamilannya namun bayi tersebut selanjutnya tidak bisa diamati. Pengobatan sifilis kongenital tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu diagnosis pasti secara klinis atau serologik. Dengan pengobatan dengan Aqueous penisilin bergantung usia bayi. Pada usia ≤ 1 minggu, diberikan tipa 12 jam, usia 1 minggu - ≤ 4 minggu diberikan tiap 8 jam, dan setelah usia 4 minggu diberikan tipa 6 jam. (Hadinegoro,2005)
10. Pengobatan Sifilis Kongenital Menurut Cdc Tahun 1998
a. Bayi dengan sifilis kongenital, ibu dengan/ tanpa sifilis
Penisilin G prokain 50.000 unit/kgBB IM/IV selama 10-14 hari.
b. Bayi normal
Ibu sifilis dini dan/atau tanpa terapi atau terapi tidak tercatat diberikan : Aqueous penisilin G 50.000 unit/kgBB IV selama 10-14 hari, atau penisilin prokain G 50.000 unit/kgBB IM, 10-14 hari usia (usia ≤ 4 minggu), atau benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal.Ibu sifilis laten lanjut, atau ibu mendapat terapi eritromosin atau obat selain penilin, atau ibu mendapat terapi adekuat ≤ 4 minggu sebelum persalinan, atau ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum persalinan, titer non treponema tidak turun 4 kali lipat, diberikan :Benzatin penisilin 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal Ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum persalinan, titer nontreponema turun 4 kali lipat, dilakukan :Pengamatan klinis dan serologik, atau benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal bila pengamatan tidak memungkinkan,ibu mendapat terapi adekuat sebelum kehamilan dan titer stabil (VDRL≤ 1:2) selama kehamilan, dilakukan :Pengamatan klinis dan serologic Menurut CDC 1998, diluar masa neonatus, anak yang didiagnosis sifilis congenital harus diperiksa CSS untuk menyingkirkan neurosifilis dan menentukan sifilis congenital atau sifilis didapat. Semua anak yang diduga menderita sifilis kongenital atau dengan kelainan neurologik diberikan aqueous penisiline G 50.000 unit/kgBB IV/IM tiap 4-6 jam selama 10-14 hari. Pemberian penisilin prokain tidak dianjurkan. (Hadinegoro,2005)
11. Pengobatan alternatif untuk pasien alergi penisilin
Bila alergi terhadap penisilin, sebagai obat alternatif diberikan obat tetrasiklin dan eritromisin. Tetapi efektifitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan penisilin. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil belum ada data yang lengkap. (Hadinegoro,2005)
12. Pemeriksaan Setelah Pengobatan
Pemeriksaan penderita sifilis dini harus dilakukan, bila terjadi infeksi ulang setelah pengobatan. Setelah pemberian penisilin G, maka setiap pasien harus diperiksa 3 bulan kemudian untuk penentuan hasil pengobatan. Pengalaman menunjukkan bahwa infeksi ulang sering terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan. Evaluasi kedua dilakukan 6-12 bulan setelah pengobatan. Penderita yang diberi pengobatan selain penisilin harus lebih sering diperiksa.
a. Semua penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis harus diamati bertahun-tahun, termasuk klinis, serologis dan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang dan bila perlu radiologis.
b. Pada semua tingkat sifilis, pengobatan ulang diberikan bila :
1) Tanda-tanda dan gejala klinis menunjukkan sifilis aktif yang persisten atau berulang.
2) Terjadi kenaikan titer tes nontreponemal lebih dari dua kali pengenceran ganda.
3) Pada mulanya tes nontreponemal dengan titer tinggi (> 1/8) persisten bertahun - tahun.
4) Harus dilakukan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang setelah diberi pengobatan, kecuali ada infeksi ulang atau diagnosis sifilis dini dapat ditegakkan.
5) penderita harus diberi pengobatan ulang terhadap sifilis yang lebih dari 2 tahun. Pada umumnya hanya sekali pengobatan ulang dilakukan sebab pengobatan yang cukup pada penderita akan stabil dengan titer rendah. (Hadinegoro,2005)
13. Diagnosis Banding Sifilis Kongenital
Diagnosis banding pada sifilis kongenital antara lain sebagai berikut :
a. Iktiosis lamellar
Kelainan ini berisfat autosomal resesif, timbul pada waktu lahir. Lokalisasinya lipatan tubuh, batang tubuh dan monomorf. Efloresensinya sisik-sisik besar datar dan bewarna gelap.
b. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
Lesi kulit menyeluruh, bula eritematosa, ukuran cukup besar, superficial, dan mudah pecah. Seringkali dijumpai pada bayi. Pada penyembuhan tampak jaringan parut, hal ini disebabkan oleh peran epidermolytic toxin, cleavage plane dalam stratum granulosum sehingga terjadi pengumpulan cairan dalam bula secara pasif.
c. Staphylococcal scarlatiniform eruption
Lesi kulit menyeluruh, berupa macula eritematosa di sekitar bibir, hidung, leher, dan aksila. Kemudian menyebar ke seluruh badan.
d. Toxic shock syndrome
Kelainan kulit berupa eritroderma yang menyeluruh dapat berbentuk komponen petekie maupun skarlatiform.
e. Malnutrisi (Marasmik-kwashiorkor)
Pada keadaan malnutrisi ini, pada kulit dapat ditemukan hiperpigmentasi, likenifikas, deskuamasi, eskoriasi, dan edema. Pada mukosa mulut timbul erosi, rambut halus, lurus, mudah di lepas, dan muka seperti orang tua.
f. Morbili kongenital
Adanya bercak koplik, yakni bercak kecil sebesar jarum pentul berwarna kemerahan terletak di daerah mukosa di depan gigi molar, ruam berwarna kecoklatan. Di daerah muka, leher, dan bagian tubuh sebelah atas ruam tampak bersatu, sedangkan di tubuh bagian bawah ruam menyebar
g. Dermatitis seboroik
Karakteristik lesi adanya sisik, kemerahan dengan daerah predileksi muka, kulit kepala dan lipatan kulit, skuamanya berminyak, berwarna kekuningan dengan batas tidak tegas.
h. Infantile acne (acne neonatorum)
Secara klinis, akne neonatorum merupakan erupsi polimorf dengan eritema, pustule, komedo pada pipi. (Hadinegoro,2005)
14. Pencegahan Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital adalah penyakit yang dapat dicegah, yaitu melalui deteksi sifilis selama kehamilan. Tindakan utama pada pencegahan sifilis kongenital adalah identifikasi dan pengobatan wanita hamil yang teriinfeksi sifilis, karena pengobatan sifilis pada kehamilan dengan menggunakan penisilin dapat mencegah infeksi kongenital sampai 98%. Tes serologi (VDRL dan TPHA) harus dilakukan pada perawatan kehamilan (prenatal care), yaitu saat kunjungan pertama, sedangkan pada kelompok risiko tinggi, dilakukan pada pemeriksaan ulang pada usia kehamilan 28 minggu dan saat persalinan. Apabila dijumpai hasil tes seropositif, harus diberikan pengobatan. Namun, kehamilan kadang menimbulkan tes nontreponema positif palsu, dan pada keadaan seperti ini dilakukan anamnesis yang rinci, pemeriksaan fisik cermat dan pengamatan serologik. Bila tidak memungkinkan, diberikan terapi, terutama bila titer pada pemeriksaan VDRL > 1:2 pada pemeriksaan pertama.Bayi dengan test serologik reaktif perlu dilakukan pemeriksaan nontreponema beberapa kali setelah pengobatan sampai diperoleh hasil nonreaktif. Biasanya dilakukan pada usia 2, 4, 6, 12 dan 15 bulan. Pada bayi dengan sifilis kongenital, tes serologik nontreponema biasanya menjadi nonreaktif dalam waktu 12 bulan setelah terapi adekuat. Adanya tes treponema reaktif setelah anak berusia lebih dari 15 bulan, saat anak sudah tidak memiliki antibody maternal, membantu menegakkan diagnosis sifilis kongenital. Hasil serologik CSS yang reaktif 6 bulan setelah terapi sifilis kongenital, merupakan indikasi pengobatan ulang, demikian pula bila titer menetap. (Webmaster,2009)
15. Prognosis Sifilis Kongenital
Prognosis sifilis kongenital bergantung periode munculnya gejala, kerusakan yang terjadi, dan penatalaksanaan. Semakin dini gejala muncul, semakin banyak jaringan yang rusak dan penatalaksanaan yang kurang tepat maka akan semakin buruk prognosisnya. Kelainan yang ditimbulkan stigmata sifilis kongenital akan menetap, misalnya gigi huchinton, keratitis interstitial, ketulian nervus VIII, dan Clutton’s joint. Meskipun telah diobati, tetapi pada 70% kasus ternyata tes reagin tetap positif.
(Webmaster,2009)

C. Penyakit Cacar ( Herpes )
1. Definisi Penyakit cacar ( herpes )
Penyakit Cacar atau yang disebut sebagai 'Herpes' oleh kalangan medis adalah penyakit radang kulit yang ditandai dengan pembentukan gelembung-gelembung berisi air secara berkelompok. Penyakit Cacar atau Herpes ini ada 2 macam golongan, Herpes Genetalis dan Herpes Zoster. (Anonim, 2004)
Herpes Genetalis adalah infeksi atau peradangan (gelembung lecet) pada kulit terutama dibagian kelamin (vagina, penis, termasuk dipintu dubur/anus serta pantat dan pangkal paha/selangkangan) yang disebabkan virus herpes simplex (VHS), Sedangkan Herpes Zoster atau dengan nama lain 'shingles' adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh virus varicella-zoster yang menimbulkan gelembung cairan hampir pada bagian seluruh tubuh. (Anonim, 2004)
Herpes zoster juga dikatakan penyakit infeksi pada kulit yang merupakan lanjutan dari pada chickenpox (cacar air) karena virus yang menyerang adalah sama, Hanya terdapat perbedaan dengan cacar air. Herpes zoster memiliki ciri cacar gelembung yang lebih besar dan berkelompok pada bagian tertentu di badan, bisa di bagian punggung, dahi atau dada. (Anonim, 2004)
2. Cara Penularan Penyakit Cacar (Herpes)
Secara umum, seluruh jenis penyakit herpes dapat menular melalui kontak langsung. Namun pada herpes zoster, seperti yang terjadi pada penyakit cacar (chickenpox), proses penularan bisa melalui bersin, batuk, pakaian yang tercemar dan sentuhan ke atas gelembung/lepuh yang pecah. Pada penyakit Herpes Genitalis (genetalia), penularan terjadi melalui prilaku sex. Sehingga penyakit Herpes genetalis ini kadang diderita dibagian mulut akibat oral sex. Gejalanya akan timbul dalam masa 7-21 hari setelah seseorang mengalami kontak (terserang) virus varicella-zoster.
Seseorang yang pernah mengalami cacar air dan kemudian sembuh, sebenarnya virus tidak 100% hilang dari dalam tubuhnya, melainkan bersembunyi di dalam sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris penderita. Ketika daya tahan tubuh (Immun) melemah, virus akan kembali menyerang dalam bentuk. Herpes zoster dimana gejala yang ditimbulkan sama dengan penyakit cacar air (chickenpox). Bagi seseorang yang belum pernah mengalami cacar air, apabila terserang virus varicella-zoster maka tidak langsung mengalami penyakit herpes zoster akan tetapi mengalami cacar air terlebih dahulu. (Anonim, 2004)
3. Tanda dan Gejala Penyakit Cacar (Herpes)
Tanda dan gejala yang timbul akibat serangan virus herpes secara umum adalah demam, menggigil, sesak napas, nyeri dipersendian atau pegal di satu bagian rubuh, munculnya bintik kemerahan pada kulit yang akhirnya membentuk sebuah gelembung cair. Keluhan lain yang kadang dirasakan penderita adalah sakit perut. (Anonim, 2004)
4. Penanganan dan Pengobatan Penyakit Cacar (Herpes)
Pada penderita penyakit cacar hal yang terpenting adalah menjaga gelembung cairan tidak pecah agar tidak meninggalkan bekas dan menjadi jalan masuk bagi kuman lain (infeksi sekunder), antara lain dengan pemberian bedak talek yang membantu melicinkan kulit. Penderita apabila tidak tahan dengan kondisi hawa dingin dianjurkan untuk tidak mandi, karena bisa menimbulkan shock.
Obat-obatan yang diberikan pada penderita penyakit cacar ditujukan untuk mengurangi keluhan gejala yang ada seperti nyeri dan demam, misalnya diberikan paracetamol. Pemberian Acyclovir tablet (Desciclovir, famciclovir, valacyclovir, dan penciclovir) sebagai antiviral bertujuan untuk mengurangi demam, nyeri, komplikasi serta melindungi seseorang dari ketidakmampuan daya tahan tubuh melawan virus herpes. Sebaiknya pemberian obat Acyclovir saat timbulnya rasa nyeri atau rasa panas membakar pada kulit, tidak perlu menunggu munculnya gelembung cairan (blisters).
Pada kondisi serius dimana daya tahan tubuh sesorang sangat lemah, penderita penyakit cacar (herpes) sebaiknya mendapatkan pengobatan terapy infus (IV) Acyclovir. Sebagai upaya pencegahan sebaiknya seseorang mendapatkan imunisasi vaksin varisela zoster. Pada anak sehat usia 1 - 12 tahun diberikan satu kali. Imunasasi dapat diberikan satu kali lagi pada masa pubertas untuk memantapkan kekebalan menjadi 60% - 80%. Setelah itu, untuk menyempurnakannya, berikan imunisasi sekali lagi saat dewasa. Kekebalan yang didapat ini bisa bertahan sampai 10 tahun. (Anonim, 2004)

D. Virus Rubella
1. Definisi Virus Rubella
Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan suatu virus RNA dari golongan Togavirus. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat mengakibatkan kecacatan. (Iswandi, 2008)
2. Sejarah Epidemi
Sebelum dilakukan imunisasi massal mulai tahun 1969, di Amerika terjadi epidemi rubella tiap 6 – 9 tahun dengan epidemi terakhir pada tahun 1964 dengan perkiraan sebanyak lebih dari 20.000 kasus sindroma rubella kongenital dan 11.000 kasus keguguran. Insidens tertinggi adalah pada umur 5 – 9 tahun sebanyak 38,5 % dari kasus pada tahun 1966-1968. Meskipun insiden rubella turun sampai 99 % antara 1966-1968, 32 % dari semua kasus terjadi pada umur 15-29 tahun. Tanpa imunisasi, 10 % - 20% populasi di Amerika dicurigai terinfeksi rubella.
Tujuan imunisasi adalah eradikasi infeksi rubella kongenital. Jumlah kasus sindroma rubella kongenital yang dilaporkan turun sampai 99 % sejak tahun 1969. Setelah penurunan yang tajam dari insiden sindroma rubella kongenital, insiden mendatar sekitar 0.05 per 100.000 kelahiran hidup selama10 tahun terakhir karena infeksi rubella tetap berlanjut pada wanita usia subur. Bila semua wanita ini telah divaksinasi (idealnya) insiden sindroma rubella kongenital pasti akan turun sampai nol. (Iswandi, 2008)
3. Penyebaran
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas.
Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30 – 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut. (Iswandi, 2008)
4. Gejala klinis
Gambaran klinis infeksi rubella serupa dengan penyakit lain dan kadang-kadang tidak tampak gejala dan tanda infeksi. Pada orang dewasa mula-mula terdapat gejala prodromal berupa malaise, mialgia dan sakit kepala. Pada anak-anak sering tidak diketahui gejala prodromal ini, atau apabila ada sangat minimal. Onset dari gejala prodromal sering dilaporkan dengan munculnya limfadenopati postaurikuler, yang biasanya dilanjutkan dengan munculnya ruam setelah 6-7 hari. Bercak-bercak berupa exanthema yang khas yaitu makulo papular yang sentrifugal mulai dari dada atas, abdomen kemudian ekstremitas yang akan menghilang dalam 3 hari. Kadang-kadang timbul arthralgia yang tergantung dari virulensi virus.
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada trimester I.. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.
Infeksi ibu pada trimester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomieliti. (Iswandi, 2008)
5. Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
a. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :
1) Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
2) Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup pulmonal.
3) Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.
4) Retardasi mental
5) Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash ).
6) Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain.
b. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus dan gangguan imunologi ( hipogamaglobulin ).
c. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.
6. Diagnosis
Diagnosis infeksi rubella sangat sulit karena gejalanya yang tidak khas. Timbulnya ruam selama 2-3 hari dan adanya adenopati postaurikuler dapat sebagai diagnosis awal kecurigaan infeksi rubella, tetapi untuk diagnosis pastinya diperlukan konfirmasi serologi atau virologi. Virus rubella dapat ditemukan pada struktur jaringan yang dapat diambil dari hapusan orofaring, tetapi tindakan ini sulit dilakukan.
Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1 – 2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1 - 3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS ( chorionoc villus sampling ) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi. (Iswandi, 2008)
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
1) Virus rubella yang dapat diisolasi.
2) Adanya IgM spesifik rubella
3) Menetapnya IgG spesifik rubella
b. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-masing satu dari item a dan b:
1) Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung kongenital, tuli, retinopati.
2) Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
c. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.
d. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi tanpa defek.
e. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal
f. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS:
1) Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan dan pada ibu
2) Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari antibodi didapat.
7. Pencegahan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberikan kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.
Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat berisiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.
Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang risiko dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat. (Iswandi, 2008)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
SIFILIS
Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, Raja Singa. (William, 2000)
RUBELLA
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981).
Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium. (America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981)
CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamilJika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. (Anonim, 2001)
HERPES
Herpes yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) adalah sejenis penyakit yang menjangkiti mulut, kulit, dan alat kelamin. Penyakit ini menyebabkan kulit melepuh dan terasa sakit pada otot di sekitar daerah yang terjangkit. Hingga saat ini, penyakit ini masih belum dapat disembuhkan, tetapi dapat diperpendek masa kambuhnya. (Anonim, 2004)

B. Saran
Dengan majunya pengetahuan akan teknologi di harapkan para masyarakat dapat menjaga kesehatannya,serta dapat terhindar dari penyakit tersebut. Serta menerapkan hal-hal tersebut :
1. Makan makanan bergizi
Saat hamil, sebaiknya Anda mengkonsumsi banyak makanan bergizi. Selain baik untuk perkembangan janin, gizi yang cukup juga akan membuat tubuh tetap sehat dan kuat. Bila tubuh sehat, maka tubuh dapat melawan berbagai penyakit sehingga tidak akan menginfeksi tubuh.
2. Lakukan pemeriksaan sebelum kehamilan
Ada baiknya, Anda memeriksakan tubuh sebelum merencanakan kehamilan. Anda dapat memeriksa apakah dalam tubuh terdapat virus atau bakteri yang dapat menyebabkan infeksi. Jika Anda sudah terinfeksi, ikuti saran dokter untuk mengobatinya dan tunda kehamilan hingga benar-benar sembuh.
3. Melakukan vaksinasi
Vaksinasi bertujuan untuk mencegah masuknya parasit penyebab infeksi. Seperti vaksin rubela dapat dilakukan sebelum kehamilan. Hanya saja, Anda tidak boleh hamil dahulu sampai 2 bulan kemudian.
4. Makan makanan yang matang
Hindari memakan makanan tidak matang atau setengah matang. Virus atau parasit penyebab infeksi bisa terdapat pada makanan dan tidak akan mati apabila makanan tidak dimasak sampai matang. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, selalu konsumsi makanan matang dalam keseharian Anda.
5. Periksa kandungan secara terartur
Selama masa kehamilan, pastikan juga agar Anda memeriksakan kandungan secara rutin dan teratur. Maksudnya adalah agar dapat dilakukan tindakan secepatnya apabila di dalam tubuh Anda ternyata terinfeksi virus tersebut. Penanganan yang cepat dapat membantu agar kondisi bayi tidak menjadi buruk.
6. Jaga kebersihan tubuh
Jaga higiene tubuh Anda. Prosedur higiene dasar, seperti mencuci tangan, sangatlah penting.
7. Hindari kontak dengan penderita penyakit
Seorang wanita hamil harus menghindari kontak dengan siapa pun yang menderita infeksi virus, seperti rubela, yang juga disebut campak Jerman.


















DAFTAR PUSTAKA

William, 2000, http://www.sexuallytransmitteddiseases.htm
Anonim, 2001, http://www.calicutmedical.org/2001;1(1)e6.htm
Anonim, 2004, http://en.wikipedia.org/wiki/Herpes_simplex
Kriebs, 2008, http://webMD.org/medscapeCME/573984.htm
Anonim, 2007, http://adam.about.com/reports/000052_2.htm
Anonim, 2007, http://www.stlukeseye.com
Irene, 2006, http://www.anakku.net/content/campak-jerman-rubella
dr.Adhi, 2009, http://iwannabemom.com/2009/08/rubella-dalam-kehamilan

Tidak ada komentar: